欢迎..............欢迎..............欢迎


Sabtu, 17 Juli 2010

Asal Mula Perayaan Tahun Baru Imlek


Ada sebuah legenda kuno yang mengisahkan asal usul tradisi perayaan Imlek di Tiongkok, begini ceritanya :

Dahulu kala ada seekor monster jahat yang memiliki kepala panjang dan tanduk yang tajam. Monster yang bernama nian ini sangat ganas, dia berdiam didasar lautan, namun setiap tahun baru dia muncul kedarat untuk menyerang penduduk desa dan menelan hewan ternak. Oleh karena itu setiap menjelang tahun baru, seluruh penduduk desa selalu bersembunyi dibalik pegunungan untuk menghindari serangan monster nian ini.


Pada suatu hari saat menjelang pergantian tahun, semua penduduk desa sedang sibuk mengemasi barang-barang mereka untuk mengungsi ke pegunungan, datanglah seorang lelaki tua berambut abu-abu ke desa itu. Dia memohon ijin menginap semalam pada seorang wanita tua dan meyakinkannya bahwa dia dapat mengusir pergi monster nian ini. Tak ada satupun yang mempercayainya. Wanita tua ini memperingatkan dia untuk ikut bersembunyi bersama penduduk desa lainnya, tetapi lelaki tua ini bersikukuh menolaknya. Akhirnya penduduk desa meninggalkan dia sendirian di desa itu.


Ketika monster nian mendatangi desa ini untuk membuat kekacauan, tiba-tiba dia dikejutkan suara ledakan petasan. Nian menjadi sangat ketakutan melihat warna merah, kobaran api dan mendengar suara petasan itu. Pada saat bersamaan pintu rumah terbuka lebar lalu muncullah lelaki tua itu dengan mengenakan baju berwarna merah sambil tertawa keras. Nian terkejut dan menjadi pucat pasi, dan segera angkat kaki dari tempat itu.


Hari berikutnya, penduduk desa pulang dari tempat persembunyiannya, mereka terkejut melihat seluruh desa utuh dan aman. Sesaat mereka baru menyadari atas peristiwa yang terjadi. Lelaki tua itu sebenarnya adalah Dewata yang datang untuk menolong penduduk desa mengusir monster nian ini. Mereka juga menemukan 3 peralatan yang digunakan lelaki tua itu untuk mengusir nian. Mulai dari itu, setiap perayaan Tahun Baru Imlek mereka memasang kain merah, menyalakan petasan dan menyalakan lentera sepanjang malam, menunggu datangnya Tahun Baru. Adat istiadat ini akhirnya menyebar luar dan menjadi sebuah perayaan tradisional orang Tionghoa yang megah dalam menyambut “berlalunya nian” (dalam bahasa Tionghoa, nian berarti tahun)


Orang Tionghoa selalu mengkaitkan periode waktu dari hari ke 23 hingga ke 30 dalam 12 belas bulan tahun lunar tepat sebelum Hari Raya Imlek sebagai “nian kecil”.


Setiap keluarga Tionghoa diharuskan membersihkan lingkungan tempat tinggal mereka untuk menyambut datangnya tahun baru. Disamping membersihkan lingkungan sekitar, setiap keluarga Tionghoa membuat berbagai hidangan menyambut Imlek yang terbuat dari daging ayam, bebek, ikan dan sapi / babi, serta manisan dan buah-buahan. Tak ketinggalan pula para orang tua membelikan baju baru untuk anak-anaknya dan mempersiapkan bingkisan angpao saat mengunjungi kerabat dan keluarga.


Ketika malam Tahun Baru tiba, seluruh keluarga berkumpul bersama. Di wilayah utara Tiongkok, setiap keluarga memiliki tradisi makan kue bola apel, yang dalam bahasa Tionghoa-nya disebut Jiao, pelafalannya sama dengan kata bersama dalam bahasa Tionghoa, sehingga kue bola apel sebagai symbol kebersamaan dan kebahagiaan keluarga. Selain itu jiao juga bermakna datangnya tahun baru. Diwilayah selatan Tiongkok, masyarakatnya suka sekali memakan kue manisan Tahun Baru (yang terbuat dari tepung beras lengket), yang melambangkan manisnya kehidupan dan membuat kemajuan dalam Tahun Baru ini (dalam bahasa Tionghoa kata “kue” dan “membuat kemajuan” memiliki pelafalan yang sama dengan kata gao) Menjelang jam 12 malam, setiap keluarga akan menyalakan petasan.


Hari pertama Tahun Baru Imlek, orang Tionghoa menggunakan baju baru dan mengucapkan selamat kepada orang yang lebih tua. Anak-anak yang mengucapkan tahun baru kepada yang lebih tua, akan mendapatkan angpao uang. Sedangkan pada hari kedua dan ketiga, mereka saling mengunjungi teman dan kerabat dekatnya.


Selama masa perayaan Tahun Baru Imlek, pada umumnya jalan-jalan diarea perdagangan penuh sesak dengan keluarga Tionghoa yang berbelanja untuk keperluan Imlek. Dibeberapa tempat diluar negeri biasanya diadakan berbagai acara hiburan menyambut Imlek seperti pertunjukkan Barongsai dan Naga, pasar bunga dan pameran klenteng.


Setelah hari ke 15 bulan pertama dalam kalender Lunar, adalah waktu diadakannya Festival Lentera, yang menandakan berakhirnya perayaan Tahun Baru Imlek

Simpul Tali Tiongkok


Sejarah simpul tali ala Tiongkok (中國結 zhong guo jie) membentang melalui perkembangan 5.000 tahun peradaban Tiongkok. Pada masa prasejarah, simpul-tali sudah dipakai untuk tujuan penandaan sesuatu.

Kebudayaan Tionghoa membahas perihal: 結繩記事 Jie Shen Ji Shi – Tali ditarik simpul dengan tujuan untuk memberi tanda pada suatu hal dan 大事大結其繩 (da shi da jie qi sheng)、小事小結其繩 (xiao shi xiao jie qi sheng) – Untuk kejadian besar dibuatkan simpul besar dan untuk kejadian kecil dibuatkan simpul kecil.

Pada masa awal peradaban dan kebudayaan Tiongkok, mereka juga memandang magis pada tali, karena kata tali 繩 (sheng) di dalam bahasa mandarin pengucapannya mirip kata Shen – ketuhanan.

Selain daripada itu, aksara tali juga memiliki sebuah makna tersendiri dalam bidang pemujaan bagi orang Tionghoa, yang disebut juga sebagai rakyat sang naga, karena aksara Tali menyerupai seekor naga yang sedang meliuk bergerak.

Simpul-tali menerima sebuah makna metafor di dalam kebudayaan Tionghoa juga berkat linguistik asalnya. Aksara 結 (jie - simpul) asalnya terdiri dari 絲 (si) dan 吉(ji), dimana 絲 (si) bermakna sutera atau tali dan吉(ji) bermakna: makmur, berstatus sosial tinggi, panjang usia, kebahagiaan, kekayaan, kesehatan dan keamanan.

Aksara 結 (jie) melambangkan kekuatan, harmoni dan keterikatan perasaan kemanusiaan, yang direfleksikan di dalam sebuah deretan kata-kata bahasa mandarin yang mengandung kata 結 (jie), seperti misalnya 結實 (jie shi = kokoh), 結交 (jie jiao = mengikat persahabatan), 結緣 (jie yuan = merajut takdir pertemuan), 結婚 (jie hun = kawin), 團結 (tuan jie = bersatu-padu).

Sehubungan dengan keterkaitan yang mendalam dari simpul-tali Tiongkok ini dengan kebudayaan lokal, teknik simpul tersebut sebagai kesenian rakyat senantiasa dikembangkan dan diwariskan turun temurun.

Teknik simpul-tali Tiongkok berkembang ke sebuah bentuk seni sesungguhnya selama dinasti Tang (618-907 M), Song (960-1279 M) dan akhirnya mengalami masa paling jaya pada zaman dinasti Ming dan Qing (1368-1911 M) – di zaman itu pula secara lebih meluas simpul-tali digunakan pula pada busana tradisional.

Jauh melampaui sebuah penggunaan sebagai ornamen dekoratif untuk perayaan, unsur gaya dari simpul Tiongkok menemukan tempatnya di kalung, stek sanggul dan pernak-pernik dekorasi gantung. Simpul tertentu seperti "Simpul bahagia" dipergunakan sebagai azimat untuk menolak bala dan mengalahkannya, menghindari musibah dan mendatangkan kebahagiaan.

Beberapa abad lalu terutama di Tiongkok yang masih dikuasai komunis, bentuk kesenian ini kehilangan maknanya. Baru pada akhir tahun 90-an kesenian simpul-tali tersebut seperti halnya bordir dan busana tradisional ditemukannya kembali. Semenjak saat itu mulai digemari dan menyebar di kota-kota.
Sebuah Tali Menyimpul Harapan Baik

Karakteristik dari simpul-tali Tiongkok ialah ia dibentuk dari seuntai tali saja. Tali sepanjang minimal 1 meter sesuai metode, urutan dan aturan yang sudah ditetapkan, dibalut, dirol, disulam dan ditarik, sehingga menjadi simpul yang beraneka ragam dan memikat. Memang simpul tertentu betul-betul rumit dan penuh seni dalam pola dan desainnya, mereka kesemuanya adalah sebuah kombinasi dari maksimal 20 macam teknik dasar. Simpul Tiongkok terlihat sama dari depan dan belakang.
Bagaimana Simpul-simpul Memperoleh Namanya

Berbagai kemungkinan bagaimana simpul-simpul tersebut bisa dinamakan demikian. Simpul-tali yang berlainan memperoleh nama bisa dari bentuk atau tujuannya, lokasi dimana mereka terjadi, dimana mereka ditemukan atau makna di balik nama simpul tersebut.

Maka "Simpul uang dopel" kurang lebih menyerupai 2 buah uang logam tembaga dari zaman Tiongkok kuno yang terbelah di tengah dan ditaruh. "Simpul kenop" memiliki nama dari penggunaannya.

"Simpul 10-ribuan" mirip bukan saja dalam bentuk swastika Budha yang oleh orang Tionghoa juga dipakai untuk memaknai angka 10 ribu, ia selain itu juga acapkali muncul pada sabuk patung Guan Yin sang bodhisatwa kebajikan.

"Simpul tak terhingga" meniru 8 simbol kebudhaan yang berarti sirkulasi abadi, dari situ semuanya berkembang biak. Simpul-tali menekankan secara seksama pertali-temalian yang tak terhingga ini dan merupakan dasar dari banyak variasi-variasi.(whs)
Sumber:

醫 (Yi) - Medizin, medizinische Behandlung [ 18.11.2007 ]

Die Rätsel der chinesischen Schriftzeichen (1) [ 03.09.2007 ]

Teladan Mendidik Anak yang Baik


Qi Jiguang

Qi Jiguang
Cerita tentang seorang militer China, Jendral Qi Jiguang (戚繼光) dari dinasti Ming yang telah dididik sejak kecil oleh ayahnya agar tidak hidup didalam kemewahan dan kesombongan.

Qi Jiguang (12–11-1528 sampai 5–1–1588) adalah pahlawan nasional dalam masa dinasti Ming. Dia sangat dikenang atas keberanian dan kepemimpinan dalam membasmi bajak laut Jepang di sepanjang pantai timur China dan juga bantuannya dalam pembangunan Tembok Besar China. Menurut catatan sejarah, ayahnya adalah Qi Jingtong (戚景通). Beliau adalah seorang yang jujur dan adil. Dia telah menanamkan kepada anaknya seperangkat pemahaman moral yang kokoh. Setelah ayahnya meninggal, Qi Jiguang mengambil alih komando atas Dengzhou pada usia 17 tahun.

Qi Jingtong agak telat punya anak. Pada usia beliau yang ke 56 lahirlah Qi Jiguang. Putranya ini amat disayangi. Qi Jingtong sendirilah yang mengajar Jiguang membaca buku dan seni bela diri. Jingtong juga sangat keras dalam hal perkembangan karakter dan perikaku moral Jiguang.

Suatu hari, ketika itu dia berusia 13 tahun, Jiguang mencoba sepasang sepatu sutera yang mewah dan naksir pada sepatu tsb. Bersepatu sutera tsb. dia berjalan bolak-balik di halaman rumah dengan gaya dan menikmatinya berlama-lama. Hal ini kemudian terlihat oleh ayahnya. Beliau kemudian memanggilnya untuk belajar dan memperingatkan Jiguang dengan marah, ‘Sekali kamu memakai sepatu mewah, akan muncul naluri ingin memakai baju mewah. Sekali kamu memakai baju mewah, akan muncul naluri akan makanan enak. Pada usia yang muda begini kamu telah mendambakan pakaian mewah dan makanan enak, selanjutnya kamu akan tidak puas terhadap apapun, tamak. Saat kamu besar nanti kamu akan mengejar pakaian mewah dan makanan enak. Bila kamu adalah seorang komandan, bahkan mungkin kamu akan menggelapkan gaji tentara. Bila kamu terus-terusan begini, kamu akan sulit berhasil dalam perbuatan yang menghendaki kejujuran’.

Jingtong kemudian mengetahui bahwa sepatu sutera tsb adalah hadiah dari mendiang kakeknya, walaupun demikian dia menyuruh Jiguang menanggalkan sepatu tsb dan merobeknya. Tujuan Jingtong melakukan ini adalah untuk mencegah Jiguang membentuk tabiat buruk dalam hal memanjakan diri dengan kemewahan.

Keluarga Qi punya selusin topi jerami yang telah lama tergeletak dan rusak bertahun-tahun. Jingtong menyewa beberapa tukang topi untuk memperbaiki topi tsb. Dalam rangka menyambut kunjungan pejabat kerajaan dan agar punya tempat yang representative untuk itu, Jingtong menyuruh tukang kayu memasang 4 pintu berukiran di ruangan utama dan menyuruh Jiguang mengawasi para tukang kayu dalam pemasangan pintu tsb.

Para tukang kayu menyarankan keluarga Qi memasang perlengkapan rumah yang terkenal dan mahal, dengan demikian mereka merasa tidaklah cocok bila cuma memasang 4 pintu berukir saja. Para pekerja tsb berbicara empat mata dengan Jiguang, ‘Keluargamu adalah turunan jenderal besar. Dengan adanya tambahan perlengkapan rumah yang demikian luks, maka seluruh permukaan pintu tambahan tsb juga harus dihias dengan ukiran bunga timbul, total 12 bunga. Dengan demikian baru sesuai dengan reputasi keluarga kalian’. Jiguang berpikir bahwa saran mereka masuk akal juga dan menyampaikan hal tsb. kepada ayahnya.

Jingtong menegur putranya dengan keras karena idenya yang berapi-api dan tak bermanfaat. Dia memperingatkan Jiguang, ‘Jika kamu ingin pamer, kamu tidak akan mampu mengerjakan hal besar kelak kamu besar nanti’. Jiguang memahami kritikan ayahnya dan menyuruh para pekerja memasang 4 pintu seperti rencana ayahnya semula.

Jingtong juga mengajarkan putranya bahwa belajar kesusastraan dan berlatih seni beladiri bukan untuk mengejar nama dan keberuntungan, tetapi untuk mengabdi kepada negara dan rakyat, menanamkan tingkah laku moral seperti kesetiaan, sikap baik pada orang tua, anti suap dan sopan-santun.

Dibawah arahan ayahnya, melalui perkataan dan perbuatan, Jiguang menjadi ‘berisi’ : sederhana, rendah hati dan apa adanya. Dia dengan rajin dan penuh konsentrasi belajar kesusastraan dan berlatih seni beladiri. Dikemudian hari dia menjadi jenderal kenamaan dan membela negaranya melawan invasi asing serta terkenal sebagai ahli strategi militer jempolan dalam dinasti Ming. Warisannya telah menjadi bagian dari sejarah.

Suka pamer, terbenam dalam pengejaran materi, kekayaan, kekuasaan, pencapaian dan kedudukan agar dipuji dan dipuja adalah ciri dari kesombongan. Akar dari kesombongan adalah kecongkakan. Sifat ini akan menghancurkan dengan perlahan cita-cita mulia seseorang dan menyebabkan seseorang selalu tidak merasa cukup. Bila seseorang telah menjadi budak dari ilusi kemewahan dan berusaha mengapainya, bahkan merugikan orang lain, itu adalah hal benar-benar menyedihkan.

Dengan status dan reputasinya, keluarga Jiguang dapat saja memberikan dan memenuhi semua kesukaan dan kemewahan kepada Jiguang, namun ayahnya tidak mengharapkan Jiguang diasuh untuk mengejar hal-hal tsb. Fokus Jingtong dalam mendidik Jiguang adalah karakter dan kejujuran moral.

Seringkali banyak orang tua mempunyai hasrat memberikan kepada anak mereka hal yang terbaik dalam segala hal dalam dunia modern yang sangat materialistik saat ini. Sudah seharusnya mereka mengambil pelajaran dari cara Jingtong mendidik Jiguang. Mengajar anak-anak mereka bahwa keberhasilan dalam hidup tidak ditentukan dari pakaian, sepatu atau apa yang kita kenakan atau dari apa yang kita miliki, namun dari refleksi karakter yang kuat dan nilai-nilai moral.

Cing Bing : Budaya Tradisional Hormati Arwah Leluhur


Konon, hari raya Cing Bing atau Qing Ming (清 明節, baca: ching ming = cerah dan cemerlang) pada awalnya adalah ritual “pembersihan makam” oleh para kaisar, raja dan petinggi negara lainnya pada zaman dahulu kala, kemudian ditiru oleh rakyat kebanyakan dengan memberi persembahan kepada leluhur dan membersihkan/merawat makam pada hari yang sama, diteruskan turun temurun sehingga menjadi semacam adat istiadat yang baku bagi suku bangsa Tionghoa.

Menurut hasil survei pada hari Cing Bing yang jatuh pada 5 April setiap tahun, peziarah di Tiongkok kali ini diduga melebihi 120 juta orang.

Bagi orang Tionghoa yang memiliki tradisi setia, berbakti, murah hati dan keakraban, hari raya Cing Bing adalah merawat, membersihkan makam untuk mengenang para leluhur.

Sedangkan bagi etnis Tionghoa yang berada di luar Tiongkok, setiap pada hari tersebut, kerinduan terhadap kampung halaman akan terasa lebih kental, jadilah perayaan Cing Bing sebagai tradisi orang Tionghoa untuk menelusuri dan mengenang suasana “kebudayaan leluhur”, di dalam kehangatan keluarga dan kerabat, menunaikan pengembalian identitas asal dan meneruskan akar nadi.

Dalam masyarakat Tiongkok, diantara perayaan-perayaan tradisional yang ada, hari raya Cing Bing merupakan salah satu dari “8 perayaan” penting (antara lain: Imlek, Pek Cun yang terkenal dengan kue bakcang, Tiongjiu yang terkenal dengan kue Tiong Jiu Pia, dan lain-lain). Pada umumnya ditentukan pada 5 April tahun masehi, tetapi masa perayaannya cukup panjang, terdapat 2 macam ketentuan yakni 10 hari sebelum dan 8 hari sesudah atau 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah, jumlah hari yang hampir 20 hari lamanya tersebut termasuk hari Cing Bing.
Asal mula

Hari Cing Bing bermuasal dari zaman Chun Qiu Zhan Guo (Musim semi-gugur dan negara saling berperang, abad 11–3 SM), adalah salah satu hari perayaan tradisional suku Han (suku mayoritas di Tiongkok), sebagai salah satu dari 24 Jie Qi (sistem kalender Tiongkok), waktunya jatuh antara sebelum dan sesudah 5 April Masehi.

Sesudah hari Cing Bing, di Tiongkok semakin banyak hujan, bumi dipenuhi dengan panorama kecemerlangan musim semi. Pada saat itu semua makhluk hidup “melepaskan yang lama dan memperoleh yang baru”, tak peduli apakah itu tanaman di dalam bumi raya, atau tubuh manusia yang hidup berdampingan secara alamiah, semuanya pada saat itu menukar pencemaran yang diperoleh pada musim dingin/salju untuk menyambut suasana musim semi dan merealisasi perubahan dari Yin (unsur negatif) ke Yang (unsur positif).

Konon, sesudah Yu agung (大禹, raja pada zaman Tiongkok kuno, abad ke-22 SM) menaklukkan sungai, maka orang-orang menggunakan kosa kata Qing Ming (di Indonesia terkenal dengan Cing Bing) untuk merayakan bencana air bah yang telah berhasil dijinakkan dan kondisi negara yang aman tenteram.

Pada saat itu musim semi nan hangat bunga bermekaran, seluruh makhluk hidup bangkit, langit cerah bumi cemerlang, adalah musim yang baik untuk berkelana menginjak rerumputan (Ta Qing). Kebiasaan tersebut telah dimulai sejak dinasti Tang (618-907).

Saat Ta Qing, orang-orang selain dapat menikmati panorama indah musim semi, juga sering dilangsungkan beraneka kegiatan hiburan untuk menambah gairah kehidupan.

Hari raya Cing Bing adalah musim berziarah ke makam, sebetulnya membersihkan makam adalah makna dari hari festival makanan dingin (寒食節) yakni 1 hari sebelum Cing Bing.

Kaisar Tang Xuanzong memerintahkan seluruh negeri agar “berziarah pada hari festival makanan dingin”. Berhubung festival makanan dingin berdempetan dengan Cing Bing maka lambat laun digabung dan terwariskan menjadi pembersihan makam pada Hari Cing Bing saja.

Pada zaman dinasti Ming (1368-1644) dan Qing/Mancu (1616-1911) Cing Bing berziarah ke makam semakin populer. Berziarah ke makam pada zaman dahulu, anak-anak seringkali bermain layang-layang. Ada yang memasangi seruling bambu pada badan layang-layang, yang berbunyi tatkala angin (Feng, 風) berhembus melaluinya, bagaikan bunyi alat musik zaman kuno yang disebut Zheng (箏), konon demikianlah asal usul nama layang-layang, dalam bahasa mandarin ialah: Feng Zheng (風箏, harfiah: Zheng yang dibunyikan oleh angin)
Adat dan istiadat

Adat istiadat hari raya Cing Bing sangat kaya dan menyenangkan, selain menganjurkan pati geni (tidak memasak/ menyalakan api), berziarah, juga ada serangkaian kegiatan seperti berkelana, berayun, sepak bola, menancapkan ranting pohon Willow dan lain-lain.

Konon ini dikarenakan pada hari Cing Bing tidak boleh memasak dan harus mengonsumi makanan dingin, maka untuk mencegah timbulnya dampak pada kesehatan, semua orang mengikuti sejumlah kegiatan di luar ruangan agar tetap fit. Oleh karena itu, di dalam acara tersebut selain bersembahyang di makam baru, dengan suasana haru dan penuh duka, pada kegiatan menginjak rumput/ berkelana juga terdapat suara tertawa riang, ini adalah sebuah acara yang penuh keunikan.

Bermain ayunan Qiu Qian (鞦韆): ini adalah adat kebiasaan hari Cing Bing zaman kuno. Sejarahnya panjang, ayunan pada zaman dulu kebanyakan menggunakan dahan sebagai rangka kemudian ditambatkan selendang atau tali. Akhir-nya berkembang menjadi 2 utas tali ditambah papan kayu sebagai pijakan kaki yang dipasang pada rangka balok kayu yang hingga kini digemari, terutama oleh anak-anak seluruh dunia.

Cu Ju (蹴鞠, sepak bola kuno): Ju adalah semacam bola yang terbuat dari kulit, di dalam bola tersebut diisi bulu hingga padat. Cu Ju menggunakan kaki untuk menyepak bola. Ini adalah semacam permainan yang digemari oleh orang-orang pada saat Cing Bing pada zaman kuno. Konon ditemukan oleh Huang Di (kaisar Kuning), pada awalnya bertujuan untuk melatih kebugaran para serdadu.

Menanam pohon: sebelum dan sesudah Cing Bing, matahari musim semi menyinari, hujan rintik musim semi betebaran, menanam tunas pohon berpeluang hidup tinggi dan dapat tumbuh dengan cepat. Maka, semenjak zaman kuno, di Tiongkok terdapat kebiasaan menanam pohon di kala Cing Bing. Ada orang menyebut hari Cing Bing sebagai “hari raya penanaman pohon”. Kebiasaan ini berlangsung hingga hari ini.

Bermain Layang-layang: juga merupakan kegiatan yang populer di saat musim Cing Bing. Setiap musim Cing Bing, selain pagi hari, orang-orangpun bermain layang pada malam hari. Pada kegelapan malam, di bawah layang-layang atau pada posisi benang-tarik digantungi serentetan lampion kecil, seperti selebritis yang cemerlang, disebut “Lampu dewata”.

Dahulu, ada orang setelah layang-layang berkibar di langit biru, memutus talinya, mengandalkan angin mengantarnya ke tempat nan jauh, konon ini bisa menghapus penyakit dan melenyapkan bencana serta mendatangkan nasib baik bagi diri sendiri.

Merawat atau membersihkan makam: Merawat makam di hari Cing Bing, dikatakan sebagai suatu tindakan untuk menghormat dan mengenang para leluhur. Kebiasaan membersihkan makam sudah ada sebelum dinasti Qin (221-206 SM), tetapi tidak harus dilangsungkan pada hari Cing Bing, berziarah membersihkan makam saat Cing Bing adalah masalah setelah Dinasti Qin. Dan sesampainya Dinasti Tang kebiasaan baru mulai menjadi populer.

Menancapkan pohon Willow: konon, kebiasaan menancapkan dahan willow (pohon Yangliu), juga demi memperingati Shen Nong Shi, yang dianggap sebagai guru leluhur pertanian dan pengobatan. Di sebagian tempat, orang-orang menancapkan dahan willow di bawah teritisan rumah, untuk meramalkan cuaca. Sesuai pameo kuno “Kalau dahan willow hijau, hujan rintik-rintik; kalau dahan willow kering, cuaca cerah”. Willow memiliki daya hidup sangat kuat, dahannya cukup ditancapkan langsung hidup, setiap tahun menancapkan dahan willow, dimana-mana rimbun.
Etnis Tionghoa rayakan Cing Bing

Semakin jauh dari tanah leluhur, perasaan sentimental dan nostalgia sepertinya semakin mendalam saja, di pelosok dunia dimana ditemukan orang etnik Tionghoa, setiap Cing Bing tahunan, pasti mereka mengikuti adat istiadat, menerawang negeri leluhur dari lokasi kejauhan dan mengirimkan kerinduan dari jauh melalui perayaan. Hari Cing Bing menjadi salah satu hari perayaan paling ramai dari tiga hari raya besar (tahun baru imlek, Cing Bing dan hari Tiongjiu) di wilayah pecinan.
Etnis Tionghoa di Indonesia

Indonesia adalah negara dengan penduduk etnis Tionghoa terbanyak di dunia, terdapat sekitar 15 juta orang yang hidup di sini yang selalu meneruskan adat pembersihan makam dan bersembahyang kepada leluhur pada hari Cing Bing.

Di dalam nilai kehidupan masyarakat Tionghoa, berbakti (Xiao, 孝), ditempatkan pada urutan pertama, sedangkan pembersihan makam dan sembahyang leluhur juga adalah semacam perwujudan jalan Xiao (berbakti kepada orang tua atau leluhur).

Tatkala pada 1999 Indonesia memasuki era reformasi demokrasi, pemerintah telah menghapus larangan yang bersifat diskriminatif dan membatasi etnis Tionghoa merayakan hari kebudayaan tradisional, maka orang Tionghoa di seluruh pelosok menggunakan berbagai cara untuk melewati hari raya Imlek, Yuan Xiao (15 hari sesudah tahun baru Imlek, yang biasanya dimeriahkan dengan hidangan lontong cap go meh) dan Cing Bing, pada generasi yang lebih tua mereka akan lebih mengutamakan Cing Bing.

Sebelumnya, etnis Tionghoa kebanyakan menyembah arwah leluhur di altar rumah, belakangan ini setiap nama marga memiliki kantor perkumpulan sendiri, maka para kerabat setelah berkumpul dan melakukan persembahan kepada leluhur lantas makan siang bersama, untuk mengakrabkan hubungan satu sama lain.

Ada pula yang menggunakan peluang ini untuk memberi bea siswa kepada kerabat muda yang berprestasi bagus, hal ini mewujudkan tradisi prima kaum etnis Tionghoa yang menghargai jasa para leluhur dan mau memberi semangat generasi muda agar giat belajar.

Pada masa Cing Bing, di beberapa tempat diadakan reuni sekolah dan kegiatan lainnya, dengan tujuan untuk memperdalam persahabatan. Lebih banyak lagi etnis Tionghoa yang berziarah secara sekeluarga ke makam leluhur, atau ke kuil menyulut dupa dan memohon rezeki.

Beberapa tahun belakangan ini, dalam situasi orang Tionghoa boleh menikmati dengan bebas perayaan kebudayaan dan “demam belajar bahasa Mandarin”, generasi baru orang Tionghoa di Indonesia mulai menghargai kebudayaan Tionghoa. (The Epoch Times/whs)

Dongeng dan Realita Sang Naga



Naga, sejenis mahluk hidup yang terkesan mistis, tetapi di dunia terdapat bentuk penampakannya yang sangat nyata. Dari perhiasan giok dan tembikar di zaman kuno hingga ke kerajinan tangan, bangunan dan busana di dalam kehidupan, kebudayaan naga sudah terpateri di dalam bersantap, berpakaian, bertempat tinggal dan berperilaku orang Tionghoa. Namun dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan empiris zaman sekarang, naga telah menjadi dongeng zaman kuno dan hanya melambangkan totem yang membawa rejeki.

Beberapa tahun ini dalam beberapa kasus, naga telah menampakkan dirinya di hadapan manusia, mendobrak bingkai batasan ilmu modern, juga telah menggugah bagian memori peradaban Tionghoa yang terdalam.

Ketika ada orang melihat dengan mata kepala sendiri penampakan naga yang langka itu, orang kuno menganggapnya sebagai peristiwa besar yang patut dicatat yang kemudian disimpan di kantor pemerintah daerah setempat atau di dalam kitab sejarah authentic setiap dinasti. Sedangkan orang zaman sekarang menanggapi penampakan naga dengan sikap skeptic dan curiga berat, dan berusaha mengartikannya sebagai gejala alam dan sebagainya.

Barangkali masalahnya bukan terletak pada naga itu sebetulnya kenyataan atau rekayasa, ia lebih terletak pada perasaan sekejap pada manusia.
(1) Misteri Naga Zaman Kuno dan Kini

Naga, seekor makhluk misterius, sepertinya tidak eksis, tapi secara luas dikenal di sekeliling kehidupan kita. Meski kitab kuno Tiongkok terkadang ada menggambarkan naga, namun terpengaruh oleh iptek yang empiris, orang zaman sekarang menganggapnya sebagai dongeng belaka. Belakangan ini sesekali tersiar sang naga bermunculan di dunia, apakah sang naga nyata atau semu telah menjadi topik hangat lagi.

Tak tahu apakah Anda pernah memikirkan sebuah pertanyaan: Di dalam 12 shio Tiongkok, 11 macam diantaranya adalah binatang yang sering terlihat, kenapa hanya naga (龍, long, baca: lung) yang berada di urutan ke lima, adalah semacam makhluk hidup yang tidak nampak eksis di dalam realita?

Makhluk yang bernama naga ini, dengan Kirin dan burung Hong dari Tiongkok dan Einhorn, ikan duyung di dalam konsep manusia zaman sekarang, pada dikategorikan jenis makhluk penuh khayal yang tidak eksis dan imajinatif.

Mari kita renungkan lebih mendalam, kenapa orang zaman kuno bisa mengimajinasikan makhluk dengan bentuk semacam ini? Yang disebut khayal semestinya sangat bervariatif, setiap imajinasi orang tidak terlalu sama, namun yang patut diperhatikan ialah, sejak zaman kuno, bentuk fisik naga cukup seragam, tak peduli di kuil, istana, buku, lukisan dan patung, semuanya dilukiskan dengan mirip sekali.

Bentuk naga di dalam hasil karya pahatan Tiongkok adalah sangat rinci dan jelas, tanduk naga bagaikan tanduk rusa, sisik naga mirip sisik ikan mas, cakar naga mirip cakar elang, tubuh naga mirip tubuh ular.

Makhluk yang kelihatannya fiktif, di dalam dunia manusia ternyata terdapat cara pemunculan yang agak nyata. Di antara semu dan nyata, membuat orang merasa bimbang dan ragu.

Akan tetapi, sebuah dongeng pada saat awal terjadinya, sangat mungkin bukan dongeng, melainkan peristiwa yang betul-betul telah terjadi. Akan tetapi karena sudah berlalu sekian lamanya, memori orang-orang tentang situasi waktu itu semakin lama semakin kabur, semakin melangkah lagi ke depan, maka dianggaplah sebagai dongeng.

Sebetulnya di dalam kitab kuno terdapat cukup banyak catatan sejarah tentang “naga muncul di antara manusia", dibawah ini akan dibahas lebih lanjut.
Catatan sang naga di dalam kitab kuno Tiongkok

Di dalam pencatatan sejarah otentik pada pemerintah lokal di berbagai daerah Tiongkok, penampakan naga sesekali terjadi dan kebanyakan dicatat di dalam kitab sejarah tersebut. Di bawah ini secara ringkas dipetik beberapa bab mengenai naga dari sumber kitab Tiongkok kuno.

Kasus Hua Yang Guo Zhi (華陽國志) pada rol ke-3 tercatat: “Pada zaman dinasti Han Timur (25-220), 24 tahun masa pemerintahan Jian An, naga kuning menampakkan diri di Wu Yang Chi Shui (武陽赤水), setelah tinggal 9 hari ia menghilang.”

Catatan ke-9 pada kitab Jin Shu (晉書) dikisahkan di gunung Naga terjadi penampakan masing-masing seekor naga hitam dan naga putih, kala itu kaisar Mu Ronghuang (慕容皝) dari negara Yan awal (前燕, abad ke 4) setelah mendengar berita tersebut, lantas memimpin para pejabatnya pergi ke gunung Naga, berdiri dengan jarak 200 langkah menyaksikan dari jarak dekat.

Kedua naga tersebut badannya saling membelit di udara, sesudah saling bermain-main di angkasa untuk sesaat kemudian baru terbang menjauh. Mu Ronghuang setelah menyaksikan adegan tersebut, hatinya sangat riang, sekembalinya ke istana lantas mengeluarkan maklumat amnesti di seluruh negeri. Istana yang baru terbangun dinamakan istana Kedamaian Naga dan mendirikan sebuah kuil Buddha Long Xiang di atas gunung Naga tersebut.

Pada zaman dahulu juga tidak setiap saat bisa melihat naga, maka penampakan naga pada umumnya dipandang sebagai pertanda rejeki besar. Kaisar Mu Ronghuang dari Yan awal sesudah melihat dengan mata kepala sendiri dua naga terbang dan bersenda-gurau, ia beranggapan ini adalah pertanda rejeki yang ditunjukkan oleh sang Pencipta, lantas mengumumkan amnesti.

Urusan kenegaraan besar seperti amnesti semacam ini semestinya bukan urusan sepele atau dapat diputuskan dengan sembrono, maka itu pencatatan ini seharusnya memiliki tingkat keandalan yang cukup tinggi.

Pencatatan dari kitab Xuan Shi Zhi (宣室志) dari zaman dinasti Tang (618-907) menjelaskan tentang sebuah kejadian penampakan naga. Terdapat kumpulan massa cukup besar dalam waktu bersamaan dengan mata kepala sendiri menyaksikan penampakan sang naga.

Selain itu, naga memiliki hubungan cukup erat dengan perubahan cuaca, tempat yang dilalui naga kadangkala membawa air hujan. Ini juga sesuai cerita dongeng tentang raja naga bertanggung jawab akan turunnya hujan.

Kitab Jia Xing Fu Zhi, Xiang Yi Zhi (嘉興府志,祥異志) dari zaman dinasti Qing (1616-1911) mencatat sebagai berikut:

“Di kabupaten Ping Hu ada naga putih terbang di atas laut, sinar merah yang dipancarkannya mewarnai separuh cakrawala, kala itu Chen Maoxiao (沈懋孝) mencatat, naga tersebut kepalanya setengah menunduk, di tengah kedua tanduknya, berdiri seorang Dewa berbusana ungu dan mengenakan mahkota emas, tubuhnya setinggi satu kaki, tangannya menggenggam pedang. Di bawah kepala naga terdapat seberkas sinar mutiara yang cemerlang, berbentuk bulat, sebesar cawan.”

Di banyak hasil karya seni naga pasti terdapat “mutiara naga”, pencatatan ini telah menggambarkan penampakan mutiara naga dan bentuk eksistensinya.

Pada zaman kuno terdapat cukup banyak catatan tentang penampakan naga, pada artikel ini karena keterbatasan ruang maka tak dapat ditampilkan satu persatu.

Manusia zaman dahulu dan sekarang di dalam konsepnya terdapat perbedaan besar, orang kuno menghormati dan takut kepada sang Pencipta, sedangkan manusia sekarang hanya percaya iptek.

Di dalam konsepnya terdapat kesenjangan besar yang menyebabkan penuturan dan penjelasan terhadap suatu permasalahan yang sama barangkali bisa sangat berbeda.

Pada saat ada orang melihat dengan mata kepala sendiri penampakan sang naga yang langka. Orang kuno memandangnya sebagai kejadian besar dan layak dilakukan pencatatan serta disimpan di kitab kabupaten lokal, bahkan ada yang dicatat di dalam buku sejarah otentik dinasti.
Sedangkan orang zaman sekarang mengenai penampakan naga langsung akan bereaksi curiga berat, dan berusaha menerangkannya dengan fenomena alam dan lain sebagainya.
Berita ganjil kasus penampakan naga di zaman kuno

Peristiwa penampakan naga apakah terbatas hanya terjadi pada zaman dahulu saja? Sesudah dinasti Qing (baca: jing), apakah naga sudah lenyap?

Kenyataanya ialah, selama 100 tahun belakangan ini, penampakan naga masih saja sering terjadi, orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri ada yang bersedia menjadi saksi mata. Di bawah ini contoh kasus peristiwa ganjil penampakan naga di dunia manusia yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.
Peristiwa naga jatuh di Ying Kou

Berita “Sheng Jing Times” ketika peristiwa naga jatuh di Ying Kou. (Foto dari internet)

Berita “Sheng Jing Times” ketika peristiwa naga jatuh di Ying Kou. (Foto dari internet)
Pada musim panas tahun 1934, di wilayah Ying Kou (營口), timur laut Tiongkok, telah terjadi naga misterius jatuh dari langit.

Menurut penuturan saksi mata, wujud dan rupa naga itu persis sama dengan yang lazim berada di dalam lukisan. Sesudah naga tersebut jatuh di tanah nampaknya ia sangat lemah dan meronta dengan penderitaan di atas tanah. Matanya tak dapat dibuka, ekornya tergulung dan dua cakarnya berada di depan. Setelah tubuhnya mengeluarkan air, badannya semakin lama semakin kering dan mulai membusuk.

Rakyat kala itu pada umumnya menganggap naga adalah makhluk rejeki, semua orang hendak membantu naga yang terjatuh itu balik dengan segera ke langit.

Sebagian mendirikan atap dari tikar untuk melindunginya dari sengatan matahari, sebagian lagi memikul air mengguyurkannya ke tubuh sang naga, agar tubuhnya terhindar dari dehidrasi. Ada sejumlah biksu dan pendeta Dao berdoa di sebelahnya.

Gerakan merawat sang naga tiada hentinya berlangsung beberapa hari hingga suatu hari sesudah hujan badai reda, naga tersebut sekonyong-konyong lenyap dengan misterius.

Namun setelah lewat 20 hari lebih, sisa jasad naga tersebut (hanya tersisa kerangka dan sejumlah kecil daging busuk), di dalam semak alang-alang berjarak 10 km dari hilir sungai Liao dan me-ngeluarkan bau busuk menyengat.

Peristiwa itu setelah terjadi, menimbulkan kehebohan, orang-orang membahasnya dengan antusias. Sheng Jing Times (盛京時報) kala itu memberitakan dengan judul:

“Salah satu penelitian naga jatuh di Ying Chuan: pernyataan Profesor institut produk air tawar/asin: naga-air tewas kekeringan.”

Isinya sebagai berikut: “Menurut penuturan seksi polisi ke-6, ditemukan sisa tulang naga beberapa hari yang lalu di antara semak kolam kota ini di propinsi Hebei, terkapar di depan lintasan barat laut dan dipertontonkan kepada umum, telah menimbulkan perbincangan janggal, daging sempat membusuk, tersisa kerangka tulang belulang saja. Apakah itu betul-betul tulang naga, masih menjadi perdebatan ramai.”

Kala itu banyak rakyat percaya bahwa itu adalah sisa jasad tulang naga sungguhan, tetapi professor tersebut beranggapan ia adalah jenis naga air, bukannya naga pada umumnya, belum ada definisi tetap.

Dari dalam foto pers tersebut samar-samar bisa kita lihat, kedua tanduk di atas kepala naga persis dengan yang dilukiskan di dalam lukisan. Tanduk tumbuh ke arah belakang, bercabang, mirip tanduk rusa sedangkan di atas kepala jenis naga-air semestinya tidak punya tanduk.
Dua naga hitam dan putih jatuh di desa Hei Shanzi

4 Agustus 2000, setelah hujan lebat lewat, di desa Hei Shanzi, kota Qing Long, propinsi Shan Dong, Tiongkok, seluruh desa bagaikan diselimuti oleh halimun tebal.

Tiba-tiba awan hitam bergelayut di antara langit dan bumi, dengan gerak bergejolak naik-turun yang tak pernah disaksikan sebelumnya semua penghuni rumah menutup rapat pintu mereka tak ada yang berani keluar rumah.

Seorang pemuda berani berusia 20-an keluar dari rumah ingin melihat apa yang terjadi. Ia menjelajahi seluruh desa, selain awan hitam pekat tak dijumpai hal yang tak lazim. Ia berjalan terus dan se-tibanya di luar desa, pemandangan di depan matanya membuatnya terperanjat.

Dua ekor naga masing-masing berwarna hitam dan putih yang terlihat segar bu-gar sedang selonjor di atas tanah! Ia berjalan mendekati dengan sangat hati-hati dan mencermati mereka, tanduk, sisik, cakar dan ekor naga-naga tersebut betul-betul persis seperti di dalam lukisan, hanya jenggotnya saja yang lebih pendek.

Ia lantas berbalik arah dan lari kencang, sambil berteriak, “Cepat keluar lihatlah, naga dari langit jatuh, semuanya cepat lihatlah!”

Setelah mendengar orang-orang berlarian keluar rumah, dalam waktu singkat, kabar mengejutkan itu segera tersiar di seluruh pelosok desa.

Dalam waktu singkat, massa dalam jumlah besar, polisi, pejabat pemerintah berduyun-duyun membanjiri desa kecil tersebut, dalam sekejap desa Hei Shanzi menjadi hiruk pikuk. Pakar yang berkaitan dengan bidangnya juga datang, tetapi mereka mengatakan sejumlah teori yang tak dimengerti orang-orang dan menyangkal eksistensi naga yang tertampak di depan mata.

Dengan cepat polisi menghalau orang-orang pergi, menyisakan ilmuwan menjaga tempat itu. Justru pada saat penjagaan tersebut, naga putih tersebut menghilang pada saat segumpal awan hitam datang terpontal-pontal.

Para petugas tak mampu menjelaskan tentang raibnya si naga putih, juga tak tahu apa yang harus dilakukan terhadap si naga hitam.

Kala itu seorang petani tua berusia 70 tahun berkata, “Saya dengar puluhan tahun yang lalu juga pernah terjadi hal serupa, agar si naga dapat balik maka orang-orang menyiraminya dengan air.”

Ia menyuruh beberapa pemuda mengambil beberapa tikar yang dijadikan sebuah tenda dan menggunakan kendaraan untuk mengangkut air dan menggunakan slang menyirami tikar tersebut. Dari celah tikar air menetes ke tubuh sang naga, maka demikianlah si naga dapat bertahan hidup hingga akhir Agustus 2000.

Berita itu sempat tersiar di internet. Namun kini penulis berusaha mengecek berita seputar tanggal dan lokasi kejadian, tak dapat menemukan lagi pemberitaan yang berkaitan dengan naga. Sepertinya berita sang naga menampakkan diri telah dengan sengaja diblokir (di RRT berita semua media sampai kini masih disensor sangat ketat oleh Partai Komunis China).
Fosil Naga

Selain catatan sejarah, adakah bukti fosil otentik yang bisa membuktikan eksistensi naga?

Pencatatan dalam kitab-kitab kuno tentang penampakan naga yang kemudian kembali lagi ke langit, cukup banyak, biasanya dianggap sebagai pertanda baik. Foto ini merupakan naga yang diawetkan, koleksi kuil Zuiryuji, Osaka, Jepang.

Pencatatan dalam kitab-kitab kuno tentang penampakan naga yang kemudian kembali lagi ke langit, cukup banyak, biasanya dianggap sebagai pertanda baik. Foto ini merupakan naga yang diawetkan, koleksi kuil Zuiryuji, Osaka, Jepang.
Ada, hanya saja sangat jarang ditemukan. Kuil Zuiryuji, Osaka, Jepang, memamerkan sebuah spesimen naga kecil dengan metode pengawetan kering, spesimen naga tersebut konon pada zaman dinasti Ming. Tanpa sengaja telah terjaring nelayan di tepi pantai, kemudian dijual ke Jepang oleh pedagang Tionghoa dan dibeli oleh 萬代籐兵衛, seorang kolektor terkenal Jepang.

Ia menyumbangkannya kepada pihak kuil Zuiryuji yang disimpan hingga saat ini. Spesimen itu melalui penanganan anti pembusukan, kulit luarnya dilapisi dengan serbuk emas, di atas kepala naga tumbuh tanduk, terdapat kumis panjang di sebelah mulutnya, bentuk mata lebar dan besar, keseluruhan tubuhnya bersisik, sangat mirip dengan naga dari hasil karya pahatan. Spesimen hanya sepanjang 1 meter, kemungkinan adalah naga muda yang belum sempat tumbuh besar.
Foto atau film yang berhasil direkam

Meski terdapat saksi mata naga, akan tetapi disayangkan, nyaris tak ada foto naga sungguhan yang tersiar. Di internet ada orang yang menyatakan telah menjepret foto atau film naga beneran, ada sebagian termasuk salah prediksi atau memang pemalsuan, namun juga ada sebagian yang kemungkinan adalah riil.

Terdapat sebuah film konon tentang naga yang terambil gambarnya di saat sebelum hujan badai di atas danau Gao You – propinsi Jiang Su, di dalam film tersebut, sedang terjadi pemandangan ganjil “Naga menyedot air”, ada seekor mahluk berbentuk ular transparan sembari meliuk, ia secepat kilat menembus lapisan awan ke angkasa, ada yang berpendapat, mahluk tersebut adalah naga yang menyembunyikan dirinya di balik lapisan awan.

Pada film lainnya, sang naga juga sama-sama tidak menampakkan wujud aslinya, dengan berwujud badan transparan ia hanya bergerak di lapisan awan. Bentuk dan kondisi tubuh transparan tersebut apabila dicermati, termasuk secara samar-samar dapat terlihat kaki belakang dan tubuh si naga serta gerakannya sewaktu bergerak, misalnya sembari bergerak sembari terjadi petir, boleh dibilang sangat mendekati penuturan orang zaman kuno mengenai naga.

Jika film-film tersebut layak dipercaya, barangkali bisa memberi sebuah benang merah bagi kita yakni: sewaktu naga beraktifitas ia eksis dengan tubuh transparan, kecuali di bawah situasi dan kondisi tertentu, kalau tidak, sulit terekam oleh kamera.
Perenungan misteri naga

Kesimpulan dari tulisan di atas, dari catatan pihak pemerintah maupun kalangan rakyat Tiongkok, penuturan saksi mata dan film sisa jasad tulang naga, semuanya mengindikasikan jejak eksistensi sang naga, karena itu terlihat jelas naga bukannya makhluk hidup hasil imajinasi orang zaman kuno.

Sesuai perkataan beberapa saksi mata berusia lanjut yakni Cai Shoukang, Huang Zhenfu, Zhang Shunxi dan lain-lain yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri pemandangan gaib “naga terbang di langit” saat peristiwa naga jatuh di Ying Kou pada 1934.

“Pada kenyataannya, naga bukan makhluk aneh, mereka itu semacam binatang langka.” Sesuai pengalaman saksi mata, mereka beranggapan, naga betul-betul eksis. Dewasa ini terdapat sebagian pakar Tiongkok menjelaskan peristiwa jatuhnya naga di Ying Kou sebagai kejadian “Ikan paus terdampar”, di-anggap sebagai omongan yang tidak bertanggung ja-wab, demikian pendapat para bapak sepuh tersebut.

Saya beranggapan, pada zaman dahulu sewaktu terjadi penampakan naga di dunia manusia, tukang kayu maupun batu adalah salah satu penonton dari sekumpulan massa yang barangkali sama seperti saksi mata zaman kini, mereka berdasarkan pemandangan yang mereka lihat ini lantas memahat karya seni.

Naga sepertinya memiliki kemampuan menglamuflase diri, kecuali ia rela untuk dilihat, kalau tidak, pada umumnya manusia biasa tak dapat melihatnya. Dewasa ini di dalam film kadang kala naga digambarkan berupa badan transparan, ini juga merupakan penyebab kesulitan dalam memperoleh bukti nyata. Sang naga sepertinya juga bisa memilih apakah ia bisa terlihat oleh manusia atau tidak.

Persis seperti yang dikatakan Einstein: “Ada sebagian orang mengira agama tidak sesuai dengan logika iptek. Saya adalah seorang peneliti ilpek, saya mengetahuinya dengan sangat jelas, ilmu pengetahuan hari ini hanya bisa membuktikan eksistensi suatu makhluk tetapi tak mampu membuktikan ketidak-eksisannya suatu makhluk.”

Apakah naga itu eksis, barangkali sudah melewati lingkup yang bisa dibuktikan oleh ilmu pengetahuan empiris, harus menggunakan sudut pandang dan teori iptek supranatural barulah bisa menjelaskannya dengan sempurna.
Kisah Naga dan Cuaca: Iptek ataukah Legenda

[Di dalam kebudayaan tradisional Tiongkok naga adalah binatang dewata pembawa berkah yang mengendalikan hujan. (AFP) ]

Di dalam kebudayaan tradisional Tiongkok naga adalah binatang dewata pembawa berkah yang mengendalikan hujan. (AFP)

Meskipun ilmu pengetahuan meteorologi sangat maju, namun ramalan cuaca masih saja ada keterbatasannya. Dari dongeng sejak zaman Tiongkok kuno dikatakan naga mengendalikan hujan, sedangkan pada era ilmu empiris zaman moderen ini, masih saja bermunculan kejadian aneh dan ganjil tentang kaitan naga dengan hujan……

Ramalan cuaca hari ini memprediksi hujan akan berhenti, akan tetapi pada malam harinya masih saja hujan, kenapa? Orang zaman sekarang masih saja tidak terlalu jelas bilamana hujan turun, turun berapa lama, berapa lebat, faktor apakah telah membuahkan hasil yang bagaimana, banyak sekali gejala alam semesta, masih berupa misteri bagi umat manusia, iptek telah menempuh ribuan km dalam sehari, namun masih saja banyak fenomena yang tak mampu dipahami melalui iptek zaman sekarang ini, ramalan cuaca hanya bisa dijadikan sebatas referensi saja.

Deng, petugas senior biro cuaca pusat Taiwan, membahas ilmu empiris yang dipergunakan oleh ramalan cuaca beserta kejadian aneh dan ganjil yang berkaitan antara cuaca dan naga.
Titik buta ilmu empiris

Deng berkata, prinsip terjadinya hujan bagi orang zaman sekarang ialah menggunakan pemahaman proses sirkulasi memasak air, yakni kalau panas memuai dan menyusut di kala dingin, sesudah air mendidih, terbentuk uap air, menemui suhu dingin berubah membeku menjadi tetesan air, awan terbentuk oleh tetesan-tetesan air kecil-kecil melalui benturan secara perlahan membesar dan menggumpal, tumbuh semakin besar, kepadatannya semakin besar pula dan warnanya semakin menghitam, maka terbentuklah awan hitam, di saat pemampatan semakin berat dan tak lagi kuat terbebani maka turunlah ia dari langit yaitu yang kita kenal dengan hujan. Ini adalah penjelasan tentang hujan sesuai ilmu empiris.

Akan tetapi, kenapa uap air bisa berkumpul menjadi satu? Mengapa ia tidak bertebaran kemana-mana? Gumpalan awan itu kenapa tidak bisa berlarian ke tempat lain? Mengapa ia menetap di sana?

Untuk hal-hal seperti itu tidak ada penjelasan, hasil yang dilihat oleh mata membuat orang berpikir dan menetapkan hal itu adalah demikian adanya, sedangkan bagian yang tak dapat dijelaskan dan tak dapat dipahami, semuanya dikelompokkan sebagai gejala pembentukan “alam”, inilah titik buta ilmu empiris dewasa ini.

Padahal di dalam ilmu empiris tersimpan secara laten konsep atheisme, turun hujan dianggap sebagai tindakan yang tidak berkesadar-an dan tidak ada kehidupan yang mengendalikannya, namun dongeng dan kenyataan menunjukkan, bahwa dalil ilmu empiris masih terdapat banyak titik-titik keraguan yang tak dapat diurai.
Adakah hubungan antara hujan dan naga?
Senja hari 16 Juni 2008, di pusat telaga Gao You di barat kota Gao You, propinsi Jiang Su muncul fenomena “Naga menyedot air”, dan makhluk menyerupai naga terbang. (INTERNET)

Pada 16 Juni 2008 di atas angkasa telaga Gao You (高郵湖) propinsi Jiangsu, Tiongkok, telah terekam foto makhluk hidup yang dicurigai sebagai naga. Pada senja hari itu, di pusat telaga terlihat pemandangan yang langka selama puluhan tahun, karena angin puting beliung menyedot air dan dibawa ke atas langit, membuat air dan langit seolah tersambung oleh pilar air setinggi seribu meter lebih (di kalangan rakyat Tiongkok, angin puting beliung disebut “Naga Menyedot Air”).

Pada saat itu terlihat dengan jelas seekor makhluk hidup kehitam-hitaman yang mirip dengan naga, secepat kilat menjelajahi awan-awan. Fenomena ganjil “Naga menyedot air” ini lenyap sesudah berlangsung sekitar 10 menit lamanya, setelah itu hujan turun dengan sangat deras.

"Naga menyedot air" adalah sebutan populer untuk angin puting beliung yang muncul dari atas air, dan tersedotlah air oleh angin sampai naik ke angkasa, bersamaan itu juga terdapat awan, air, naga.

Selain itu seorang fotografer pada 22 Juni 2004, di dalam perjalanannya dari Lhasa-Tibet, saat balik ke pedalaman menumpang pesawat, ketika mencapai angkasa di atas gunung salju Tibet, di dalam lapisan awan yang bergejolak tanpa sengaja terjepret olehnya dua ekor naga yang serupa benar dengan yang dari dongeng, dinamakan “naga Tibet”.

Pernah dianggap sebagai makhluk dewata pada zaman kuno namun terekam oleh jepretan kamera manusia zaman moderen, bermakna apakah ini? Apakah naga senantiasa eksis, hanya saja tidak terlihat oleh sebagian besar orang?
Cuaca memberi pertanda apa?

Foto naga sedang terbang menjelajahi awan yang terekam kamera di atas angkasa Tibet. (INTERNET) Foto badan naga yang telah diperbesar. (INTERNET)

Deng juga menyebutkan tentang sebuah stasiun TV yang menayangkan acara dokumentasi seorang Tosu (pendeta taoisme) yang memohon hujan.

Langit cerah yang mestinya tak berawan, sesudah ritual dilakukan oleh sang Tosu, tiba-tiba segumpal awan hitam melayang datang dan turun hujan rintik-rintik sejenak, tosu menjelaskan, “Hujan kecil ini adalah pinjaman, ini semestinya air hujan yang bakal turun, dipinjam dahulu sebentar, terlalu banyak tak diijinkan.”

Ada seorang kultivator, suatu hari di dalam perjalanan pulang menjumpai angin kencang meniup dan bakal turun hujan, sesampainya di rumah ia langsung duduk bersila berlatih meditasi. Dari mata ke tiganya ia melihat di dalam awan tersebut terdapat banyak sekali anak naga sedang bermain, saat itu di luar sedang terjadi hujan angin yang deras sekali.

Menurut kalangan para kultivator, bila saat bermeditasi bisa melihat benda yang tak dapat dilihat oleh mata, hal itu dikarenakan tingkatan kultivator tersebut sedang naik dan daya kemampuan mata ketiganya telah terbuka, sehingga daya kemampuan pemantauannya telah menguat.

Deng mempunyai seorang teman, konon sejak kecil bisa melihat naga, ia mahir melukis naga, dan lukisannya terkesan hidup adalah karena sambil melihat naga sambil melukis.

Teman tersebut menjelaskan bahwa saat hujan petir, pasti ada 3 dewa yang hadir, yakni satu dewa guruh, satu dewi petir, satunya lagi adalah naga, selain itu mereka bertindak sesuai urutan, mula pertama dewi petir yang menguasai petir, disusul dewa guruh melepas guruhnya, kemudian disusul naga bertanggung jawab melepas air hujan, sedangkan volume air hujan konon dikendalikan oleh sang naga.

Tak heran cuaca yang penuh perubahan membuat orang tak mampu menebak dan mengendalikan. Seandainya teori hujan dan cuaca adalah benar dikendalikan oleh kesadaran dewata, maka tak sulit memahami kenapa setelah terjadi uap dapat menggumpal menjadi mega, lalu mega tersebut kenapa bisa berdiam di sana, kenapa bisa menguat menjadi hujan badai, serta gejala curah hujan yang dibawa oleh angin topan, garis perjalanannya, berapa lama berlangsung dan lain-lain, membuat umat manusia yang menepuk dada sendiri bahwa ilmu pengetahuannya telah maju pesat hingga sekarang tak mampu memprediksinya secara akurat.

Terdapat sebuah pepatah di Taiwan: “Apabila orang tidak menuruti kehendak langit maka langit tidak berjalan sesuai hitungan manusia”.

Dewasa ini cuaca berubah semakin lama semakin tidak menguntungkan bagi eksistensi umat manusia, orang juga menyadari bahaya ini dan mulai mengajukan sejumlah upaya untuk memperbaikinya.

Barangkali pemikiran memberlakukan lagi sikap hidup orang kuno tentang manusia agar menyatu dengan langit, maka baru bisa diperoleh inspirasi jelas tatkala sang Pencipta menggunakan cuaca untuk memperingatkan perilaku manusia di bumi.
Persepsi Naga Timur dan Barat Sangat Berbeda

Penggambaran Naga di Timur

Penggambaran Naga di Timur
Di dunia timur, wujud naga mewakili kemuliaan dan kesucian; sedangkan di dunia barat, naga diasosiasikan dengan kejahatan dan api neraka. Mengapa bisa terjadi perbedaan demikian besar? Apakah naga di sini beda dengan naga di sana? Mari kita simak legenda dan catatan dari dunia barat dan timur.

“Naga” di dalam masyarakat Tionghoa, adalah semacam perlambang kemuliaan, rejeki, kewibawaan dan kesucian. Orang Tionghoa menganggap diri mereka sebagai keturunan naga.

Sebaliknya di masyarakat Barat, kesan terhadap naga, adalah semacam iblis dan perlambang kegelapan. Mengapa di Barat dan Timur terdapat perbedaan yang begitu mencolok tentang kedudukan sang naga?
Legenda naga sakti dari Timur

Mengenai legenda “naga timur”, terdapat 4 macam teori:

1. Manusia dan naga satu tubuh

Contoh yang paling gamblang adalah leluhur orang Tionghoa yakni Fu Xi (伏羲) dan Nu Wa (女媧) diyakini berbadan ular, atau disebutkan bertubuh naga.

Yan Shou (延壽), Raja Han Akhir mencatat di dalam kitab Balairung Persembahan Lu Lingguang (魯靈光殿賦): “Melukis langit dan bumi, terlahir aneka macam makhluk, serba berbaur dan aneh, dewa gunung roh samudera. Zaman dahulu kala serba maha luas, pada awal permulaan dunia, 5 naga membandingkan sayapnya, kaisar manusia berkepala Sembilan, tubuh Fu Xi bersisik, tubuh Nu Wa berwujud ular.”

2. Naga adalah penjelmaan kaisar arif bijaksana:

Tercatat di dalam kitab kuno Pencatatan tahunan Zhu Shu (竹書紀年) dan Shan Hai Jing (山海經):
… terutama dijelaskan, Huang Di, Yao, Shun dan Yu (黃帝、堯舜和禹, para kaisar leluhur pada zaman kuno), pada saat kelahiran dan kemangkatannya selalu naga sakti menampakkan diri dan diyakini sebagai berkah.

3. Naga adalah roh sakti:

Di dalam kitab kuno Shan Hai Jing (山海經) oleh Guo Pu (郭璞) disebutkan:
… di zaman Huang Di dan Nu Wa, “naga” senantiasa membantu penguasa meredakan pemberontakan, dari sini terlihat, “naga” memiliki kekuatan gaib nan sakti.

4. Naga adalah satwa sakti yang dikendalikan dewata:

Legenda Li Bai menaiki naga menuju langit.

Legenda Li Bai menaiki naga menuju langit.
Menurut legenda, permaisuri raja Tai Zhen, mahir bermain kecapi, setiap kali main, suaranya merdu sehingga burung-burung berdatangan, sering kali ia menaiki naga putih untuk berkelana ke 4 samudera.

Xiao Shi, mahir bersiul. Kaisar Qin Mugong (秦穆公) menikahkan Nong Yu, sang puteri kepadanya. Xiao Shi mengajarkan isterinya bermain musik, tatkala bermain, ada burung Hong terbang berkunjung dan hinggap di atas loteng, Mugong mendirikan podium burung Hong untuk mereka berdua. Kemudian Nong Yu menunggang burung Hong, sedangkan Xiao Shi menaiki naga dan mereka terbang ke atas serta menuju dunia atas.

Li Bai, sang penyair tersohor, konon pada saat berbincang santai dengan seorang tosu (pertapa taoisme) di atas gunung, baru selesai berbincang, ada orang yang menyaksikan, mereka berdua di tengah awan, bersama-sama mengendarai sang naga menuju langit.
Legenda naga jahat dari Barat

1. Naga si binatang raksasa penjaga pusaka:

Rafael melukis 2 lukisan cat minyak mengenai St. George memerangi naga jahat. (INTERNET)

Rafael melukis 2 lukisan cat minyak mengenai St. George memerangi naga jahat. (INTERNET)
Syair narasi yang ditulis pada abad ke-8, Beowulf, adalah lembaran tertua dari dongeng yang tercatat dalam bahasa Inggris kuno.

Cerita dicatat dari Eropa Utara, pahlawan Beowulf di dalam perang memperoleh kemenangan dan telah mempertahankan pemerintahannya selama 50 tahun, oleh karena seekor naga raksasa penyembur api yang dulunya beristirahat dan menjaga pusaka negara selama 300 tahun, sekali lagi melancarkan serangan.

Ia berperang melawan sang naga raksasa dalam 3 babak, akhirnya si naga terpenggal kepalanya, tetapi Beowulf tergigit oleh si naga raksasa hingga terluka dan cairan racun mematikan telah mengalir di dalam tubuhnya, dan ia meninggal.

Beowulf menjadi pahlawan pembantai naga, sedangkan image negatif naga di dunia barat dengan demikian telah terpateri di dalam memori orang Barat.

2. Naga adalah penjelmaan iblis dan setan:

Di bab 12, paragraf 7–9 Apocalypse Perjanjian Baru:

“Di langit terjadi perang. Michael beserta pasukannya bertempur dengan naga. Si naga juga bertempur beserta kelompoknya. Tidak memperoleh kemenangan maka di langit tiada tempat lagi bagi mereka. Naga raksasa adalah ular kuno tersebut. Juga dinamakan iblis, atau setan, bertugas menyesatkan dunia. Ia dilempar ke atas tanah, beserta kelompoknya.”

Di dalam Alkitab, naga dipandang sebagai iblis, setan, siluman. Bagi orang Eropa (kuno) yang memandang pemikiran agama Kristen sebagai satu-satunya literatur yang benar, maka naga berubah menjadi makhluk yang membuat sengsara umat manusia, ditakuti orang pada umumnya.

Di dalam Apocalypse, naga memiliki 7 kepala dan 10 tanduk, bisa menyesatkan hati orang dan membuat orang memasuki jalan kejahatan, 7 kepala melambangkan 7 dosa besar yang mutlak tak boleh dilanggar, 10 tanduk melambangkan 10 dosa kecil yang kemungkinan telah dilanggar.

Orang berdosa yang terpikat dan melakukan pelanggaran bersama-sama dengan naga akan dimasukkan ke dasar neraka.

3. Tersebarnya kisah legenda pembunuh naga:

Catalonia, Spanyol, di abad pertengahan asalnya adalah sebuah tanah yang subur, naga raksasa yang bisa terbang dan menyelam telah memusnahkan segalanya. Agar rakyat dapat hidup, setiap hari mereka mengantarkan seorang gadis muda dipersembahkan kepada naga raksasa.

Pada suatu hari, sang puteri cantik juga tak luput menjadi tumbal, seorang pendekar dari Inggris yang pandai bertempur, dengan segala daya berduel dengan sang naga, ia menggunakan pedang menusuk jantung si naga raksasa, dalam sekejap darah segar menyembur keluar dari tubuh sang naga dan telah membasahi rerumputan di sekitarnya, akhirnya di atas rumput telah bertumbuhan bunga-bunga mawar merah.

Pendekar yang perkasa telah menyelamatkan sang puteri, ia memetik salah satu bunga merah itu dan diberikan kepada puteri cantik, kedua orang tersebut bersumpah untuk cinta yang abadi.
Naga Timur Berwibawa Dan Penuh Berkah

Naga menjadi salah satu logo Tiongkok, di dalam pameran Expo Aichi – Jepang pada 2005, di atas dinding pavilion stand Tiongkok terlukis sang naga.

Naga menjadi salah satu logo Tiongkok, di dalam pameran Expo Aichi – Jepang pada 2005, di atas dinding pavilion stand Tiongkok terlukis sang naga.
Bentuk luar naga timur bisa kita simak dari kitab kuno zaman dinasti Song, “Er Ya Yi 爾雅翼”yang memberi penjelasan sbb.: “Bentuk lukisan naga tradisional, dikatakan terdapat 3 stop dan 9 mirip, yakni, Dari kepala hingga pundak, dari pundak hingga pinggang, dan dari pinggang hingga ekor, dinamakan saling stop. 9 mirip ialah: Tanduk mirip rusa, kepala mirip unta, mata mirip setan, leher mirip ular, perut mirip kerang, sisik mirip ikan carp, cakar mirip elang, telapak mirip macan, telinga mirip sapi.” Selain itu, Dong Yi di dalam kitab “Kumpulan pedoman melukis naga”mengatakan: “9 mirip ialah: Kepala mirip sapi, mulut mirip keledai, mata mirip udang, tanduk mirip rusa, telinga mirip gajah, sisik mirip ikan, jenggot mirip manusia, perut mirip ular, kaki mirip burung Hong”. Jadi wajah naga timur secara keseluruhan berwujud sangat belas kasih dan berwibawa.

Pernak-pernik “naga”, dimulai dari perhiasan giok, tembikar dll semenjak zaman kuno, sudah dipergunakan secara massal, bahkan kemudian kesenian di dalam kaligrafi, melukis, busana dll, meski bentuk naga mengikuti perkembangan setiap dinasti, terdapat pula beberapa perubahan yang berbeda, tetapi perlambang dongeng“naga”, di dalam hati orang Tionghoa, senantiasa mempunyai posisi yang tak tergoyahkan. Kehidupan keseharian seseorang, tak lepas dari sandang, pangan, papan dan bepergian, nyaris semuanya tertera stempel kebudayaan naga, sudut pandang kebudayaan naga dan kesadaran estetika kebudayaan naga, semuanya telah meresap di berbagai wilayah dan berbagai bidang kebudayaan masyarakat.

Bahkan pengaruh itu meliputi seluruh bangsa Asia, termasuk Jepang dan Korea serta wilayah pemukiman dan kota Pecinan yang ditempati perantau Tionghoa di berbagai negara dunia. Setiap tempat yang bersentuhan dengan kebudayaan Tionghoa tak luput dari eksistensi naga ini.
Naga Barat Yang Jahat dan Buruk Rupa

Penampilan naga jahat penyembur api sesuai legenda barat.

Penampilan naga jahat penyembur api sesuai legenda barat.
Naga barat memiliki tubuh yang kekar, leher yang panjang dan kasar, memiliki tanduk atau kepala yang bergerigi, gigi yang runcing, dan sebuah ekor berbentuk anak panah panjang. Ia melangkahkan kakinya dengan kuat dan kokoh, menggunakan sepasang sayap raksasa bak sayap kelelawar untuk terbang, seluruh tubuhnya dipenuhi dengan sisik yang melindungi tubuh. Matanya terbentuk dari 4 lapis kelopak, 3 diantaranya transparan, bisa melindungi mata dari gangguan, telinga bisa digerakkan buka-tutup, tetapi tidak semua naga memiliki daun telinga. Gigi yang runcing dan tajam biasanya bisa ditarik melengkung ke dalam guna merobek mangsanya. Tanduknya memiliki cakar. Dus, tampang naga barat secara keseluruhan berpenampilan jahat dan mengerikan.


Orang Tionghoa di daratan sekarang menyebut PKC (Partai Komunis China) sebagai naga merah yang jahat. Karena PKC haus darah dan kekerasan disamping gemar mengenakan lambang warna merah dan dengan brutalnya menindas rakyat sendiri, terutama manusia yang beriman. Gereja rumahan di Tiongkok daratan merasakan sendiri kejahatan si naga merah dan pada umumnya menganggap PKC adalah naga merah raksasa sesuai yang ditulis di “Apocalypse.” – Alkitab. Sejumlah besar kultivator juga berpendapat mundur dari organisasi PKC dapat menghapus stempel hewan “naga merah” PKC yang di-stempelkan pada manusia. Sesuai “Alkitab”, setan dan iblis akan dimusnahkan pada saat pengadilan terakhir, stempel hewan ini adalah surat jalan turun ke neraka bersama dengan setan iblis. Ini juga membuktikan partai komunis bukanlah bagian dari kebudayaan Tiongkok, ia sesungguhnya adalah produk yang disiarkan dari barat.
Hubungan Naga dan Tuhan Di Barat dan Timur

Totem naga yang digunakan oleh para kaisar zaman kuno dan rakyat jelata dibedakan dengan jumlah cakar/kaki naga. Naga sebelum zaman dinasti Tang (abad ke 7-10) bukan monopoli kaisar, itulah sebabnya rakyat pada umumnya diperkenankan menggunakan 3 kaki naga yang kala itu biasa digunakan.

Pada masa dinasti Song (960-1279), secara mencolok naga telah menjadi perlambang monopoli kaisar, “wujud naga dimuliakan”, istana memerintahkan pelarangan penggunaannya bagi rakyat dan pejabat. Tetapi di dalam kehidupan sehari-hari naga tetap berperan sangat penting dalam pemanjatan doa, permohonan hujan dll, sehingga pelarangan secara total penggunaan logo naga di kalangan rakyat menjadi tidak mungkin, maka dilakukan siasat pembagian terhadap peran naga, kalangan rakyat mulai menggunakan Chi 螭 (naga legendaris tanpa tanduk) menggantikan naga.

Pada dinasti Yuan (1206-1368), pemerintah malah melarang pejabat dan rakyat menggunakan naga berkaki lima dan bertanduk sepasang sebagai perhiasan/dekorasi, meski dilarang-larang, namun pelanggaran marak terjadi, di bawah keterpaksaan, pemerintah akhirnya mengalah, memperkenankan pengurangan satu kaki sebagai pembedaan, itulah mengapa pada zaman dinasti Yuan terdapat naga dengan wujud 3, 4 atau 5 kaki.

Pada awal dinasti Ming (1368-1644), di bawah ketetapan khusus pendiri dinasti Ming, Zhu Yuanzhang, dilakukan 2 pembagian, bentuk naga dengan 5 kaki hanya melambangkan image kaisar sedangkan naga berkaki 3 dipergunakan bagi rakyat, situasi pengurangan satu kaki sebagai makhluk Chi/phyton sampai pertengahan dinasti Ming baru ditemukan. Pada masa pemerintahan dinasti Qing, ditentukan pemerintah, naga tetap naga, Chi/python tetap Chi/phyton, perbedaan antara keduanya hanya pada satu kaki saja.

Naga timur adalah makhluk surgawi sakti yang mendampingi dewata naik ke langit dan menyebarkan konsep agama Buddha dan Dao, dimana manusia mampu berkultivasi hingga memperoleh buah sejati (hasil akhir sejati), dengan mengendarai dan diantar naga menjadi Buddha dan Dewa naik ke langit. Naga barat adalah penjelmaan setan yang menggoda manusia untuk berbuat dosa dan masuk ke neraka, serta memerangi Tuhan, berlawanan dengan Tuhan yang menghendaki manusia harus waspada untuk tidak melanggar pelarangannya, agar jangan tergoda untuk melakukan dosa. Peran yang dimainkan oleh naga barat dan timur bertolak belakang, tetapi semuanya berkaitan dengan ajaran ketuhanan, dari sini terlihat hubungan naga dengan Tuhan selamanya tak bisa dipisahkan, hanya tergantung peran berlawanan atau berdampingan.

Di dalam zaman globalisasi ini, kebudayaan barat dan timur saling berbenturan dan menyelaraskan, apabila orang barat dikarenakan perbedaan kebudayaan kemudian salah paham terhadap naga timur, kita seyogyanya menggunakan semacam sikap yang lebih lapang dada dalam menghadapinya. (Epochtimes/Whs)

Orang Tionghoa Berasal dari Mana


Orang Tionghoa berasal dari mana, siapakah leluhurnya, dari dongeng masa silam yang jauh, dari legenda tiga raja lima kaisar dan dari catatan kitab sejarah, kita mengetahui, orang Tionghoa adalah “anak cucu Yan dan Huang” (raja Yan dan kaisar Huang Di 炎黃子孫), kaisar Kuning yang pernah hidup di wilayah perairan sungai Kuning (Huang He) adalah leluhur suku bangsa Tionghoa. Namun jawaban ini, dewasa ini mengalami tantangan dari para ilmuwan, sehingga orang Tionghoa sendiri merasa kebingungan karenanya.

Pada era tahun 30an abad 20, ditemukan “manusia Peking” di Zhou Kou Dian-Beijing yang oleh para ilmuwan dianggap sebagai leluhur umat manusia, maka jadilah seluruh orang Tionghoa keturunan “manusia Peking” tersebut yang 5 sampai 600.000 tahun yang lampau turun dari pohon, berhasil mempelajari berjalan dengan badan tegak dan di saat kelaparan meng-kanibal daging dan otak serta sumsum sesama jenis manusia lainnya. Untungnya ditemukan lagi bahwa di dalam mata rantai fosil umat manusia zaman kuno Tiongkok, terdapat sebuah missing link yang besar, yakni salah satu masa tidak terdapat fosil manusia, jadi “manusia Peking” yang menghebohkan dunia sama sekali tidak memiliki keturunan yang berlangsung hingga sekarang, dengan orang Tionghoa tidak lagi bisa dikait-kaitkan.

Pada 1987, “Weekly News” –AS telah memuat sebuah berita sensasional, ilmuwan meneliti DNA memperoleh sebuah kesimpulan – “Hawa” leluhur umat manusia berada di Afrika dan dipublikasikan: “Kita semua memiliki seorang nenek Afrika yang pernah hidup pada 150.000 tahun yll, dan manusia zaman sekarang semuanya adalah keturunannya.” Pada cover majalah tersebut dimuat seseorang yang disebut “Hawa” yang berkulit hitam dan setengah telanjang sedang memberikan sebuah apel kepada Adam yang berkulit hitam pula. Keturunan “Nenek Afrika” tadi setelah keluar dari Afrika, lahirlah kita-kita ini.

Para pakar genetika Tiongkok selanjutnya mengatakan, para leluhur yang berasal dari Afrika, semenjak 40.000 tahun yang silam sesudah memasuki wilayah Tiongkok, jalan – berhenti – berkumpul – terpisah, demikianlah lambat laun dalam perjalanan waktu berubah menjadi berbagai suku bangsa Tionghoa. Dengan kata lain, orang Tionghoa berkulit kuning zaman sekarang, semuanya merupakan keturunan orang berkulit hitam Afrika yang telah bermetamorfosa, sewaktu mereka di dalam perjalanan nan panjang dari zaman primitif ke peradaban, para cucu-cicit tersebut telah berubah menjadi jenis manusia yang lain.

Dikatakan bahwa asal usul manusia adalah melalui evolusi dari makhluk primata (nenek moyang monyet) telah menimbulkan pro-kontra, orang Tiongkokpun sama saja sulit menerima “nenek Afrika” yang tak jelas juntrungannya. Sedangkan yang diketahui setiap keluarga dan telah diwariskan turun temurun, sesudah awal penciptaan dimana dunia masih berada dalam keadaan chaos, orang Tionghoa memiliki seorang ibu pertiwi: “Nu Wa 女媧”, yakni seorang dewi yang konon tinggal di gunung Kun Lun (di wilayah barat laut Tiongkok), Ia menggunakan tanah liat (kuning) untuk mencipta melalui membentuk bangsa kulit kuning yang paling dini di wilayah timur, memberikan kepadanya kulit kuning yang tak berubah selamanya dan menetapkan tata susila pernikahan serta memperpanjang jiwa umat manusia, ia adalah dewi leluhur suku bangsa Tionghoa.

Akan tetapi di balik “Nu Wa sang pencipta manusia”, sepertinya samar-samar masih dapat ditelusuri semacam jodoh hulu-nadi yang jauh lebih kuno. Tiongkok kenapa dinamakan “tanah dewata 神州”, “dinasti langit 天朝” dan kaisar Tiongkok disebut “putera langit 天子” , orang Tionghoa berbicara “bahasa paling awal taman Eden”, 5.000 tahun yang sambung menyambung, dari kaisar bertanya nasib kepada bintang hingga ke rakyat yang percaya Tuhan dan memuja leluhur, dimana-mana ada jejak dewata. Dibandingkan dengan manusia yang diciptakan dari tanah, asal usul orang Tionghoa sepertinya lebih kuno dan mulia. Namun, aliran sungai sejarah yang begitu panjang, sama halnya orang hanya dapat merindukan “Nu Wa” dari cerita dongeng saja, juga tentang hulu-sumber prasejarah asal-usul orang Tionghoa tersebut, hanya bisa mengandalkan imajinasi dan estimasi untuk menyentuh gambaran yang redup.

Dipikir lebih mendalam, semestinya bukanlah suatu kebetulan, dewasa ini, abad 21, pertunjukan “Shen Yun Divine Performing Arts” yang menggemparkan dunia, dengan musik, tarian dan nyanyian, busana dan layar, corak warna dan lighting yang demikian indah absolut, mempertontonkan kondisi surga dewata dan makhluk tinggi alam semesta, di dalam lingkup awan dan atmosfer yang menentramkan, kita dipersilakan menyaksikan dengan mata kepala sendiri asal usul peradaban Tionghoa, masa lampau dan masa depan orang Tionghoa serta dengan riel menyelami tema mendalam seperti “reinkarnasi”, “penyelamatan”, “welas asih”, “suci”.

”Maha pintu surga terbuka lebar pada suatu masa silam yang amat sangat jauh, ada berapa orang datang dan tinggal berapa orang berhasil balik. ”.

Orang Tionghoa berasal dari mana, umat manusia berasal dari mana, bakal kemana? Misteri maha sulit terungkapkan ini, setelah melalui menonton Shen Yun DPA, Anda akan memperoleh inspirasi dan jawabannya. (Epochtimes/Whs)

Artikel ini hanyalah mewakili sudut pandang si penulis.
Sumber﹕http://www.epochtimes.com/b5/9/4/14/n2494589.htm

Pasangan Pemulung: Mendidik Anak Agar Tahu Balas Budi


Di dalam keheningan, dua orang tua memakan nasi bubur yang dimasak dengan sayur dan beras kasar yang tidak bergizi, setetes demi setetes air mata jatuh ke dalam mangkuk nasinya
Di sebuah desa kelompok Chunhua 4 Kecamatan Guixi, Kabupaten Dianjiang berdiam keluarga bermarga Yang. Sang suami bernama Yang Mingda, 63 tahun. Istrinya mengidap penyakit jantung bawaan dan menggantungkan kehidupan keluarganya dengan menjadi pemulung dan menjual sayuran serta menerima bantuan dari para dermawan sampai akhirnya berhasil menyekolahkan 4 orang anaknya di perguruan tinggi.

Selama 10 tahun ini, para dermawan yang pernah membantu mereka, selalu dikenang oleh pasangan Yang. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk membalas budi baik, entah itu hanya dengan memberikan seikat sayuran atau menyumbangkan tenaganya.

Pak tua Yang mengatakan, "Sebagai seorang manusia harus tahu membalas budi, kecuali sudah mati..." Kini, pak tua yang telah berusia lanjut, mendidik semua anak-anaknya dengan prinsip tersebut.
Biayai 4 Mahasiswa

Menurut berita di Harian Malam Chongqing, pak tua Yang tadinya adalah warga Desa Gangjia, Kabupaten Dianjiang. 10 tahun lalu, rumah mereka roboh, karena tidak memiliki uang untuk memperbaiki rumah, mereka terpaksa pindah ke Kelompok 4 Chunhua, yang masih memiliki banyak lahan kosong.

Mereka menanam sayur untuk menghidupi 4 orang anaknya, ini adalah alasan utama pak tua Yang meninggalkan kampung halamannya.

"Waktu itu sudah disepakati, biaya sewa rumah adalah 100 Yuan (sekitar Rp 150 ribu) pertahun, tapi keluarga Huang yang mengasihani kami, akhirnya tidak bersedia menerimanya."

Pak tua Yang mengatakan, keluarga Huang adalah keluarga dermawan pertama yang mereka temui di rantau orang. Pak tua Yang menyewa sekitar 10 hektar lahan dari 4 keluarga di desa itu untuk bercocok tanam sayuran, dengan imbalan menyetorkan bahan pangan bagi keempat keluarga tersebut.

Pendapatan tahunan dari menjual sayuran tidak sampai 2.000 Yuan (sekitar Rp 3 juta), demi membiayai ke-4 anak mereka, kedua suami istri terpaksa harus bekerja sambilan sebagai pemulung untuk membiayai mereka.

Sudah tak terhitung berapa kali sang istri, Ren Shulan, yang mengidap penyakit jantung bawaan itu pingsan di atas tumpukan sampah. Setiap kali nyawanya berhasil diselamatkan, namun dengan terpaksa ia kembali membopong karung goninya dan melanjutkan pekerjaan mengais sampah.

Bagaimanapun mereka berusaha keras mencari pendapatan, tetap saja semua anak-anaknya masih kelaparan. Putri kembarnya menetap di asrama sekolah, setiap kali makan mereka hanya memesan 1 porsi sayuran, untuk dimakan berdua. Putra mereka yang sekolah di SMU setiap hari hanya makan 1 kali.

Prestasi keempat anaknya sangat baik, mereka sering berpikir untuk berhenti sekolah dan bekerja di luar, namun tidak diperbolehkan oleh pak tua Yang. "Saya sendiri tidak berpendidikan, sehingga mengakibatkan anak-anak harus menderita seperti ini," katanya.

2004 lalu, putra sulung yakni Yang Tianwei berhasil diterima di Institut Teknologi Maoming di Guangdong. Pada 2005, putra keduanya Yang Tianzheng berhasil diterima di Universitas Pertanian Huanan, dan sekarang sedang menyelesaikan gelar master. Pada 2007, kedua putri kembarnya diterima di Universitas Xinan dan Universitas Teknologi Chongqing.

Saat liburan, biasanya anak -anak tidak pulang ke rumah agar dapat menghemat biaya perjalanan, mereka lalu bekerja di kota untuk mengumpulkan uang guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Anak-anak keluarga Yang sangat cerdas, dan mengerti keadaan keluarganya. Pak tua Yang sangat senang karenanya, sehingga mampu memenuhi biaya sekolah dan biaya hidup yang mencapai 40.000 Yuan (Rp 60 juta) per tahunnya, mereka hanya bisa mati-matian memulung.
Idap Penyakit Akut, tak Lupa Balas Budi

Saat tahun baru Imlek ini, pak tua Yang divonis mengidap penyumbatan jantung koroner. Dokter menganjurkan dilakukan operasi untuk memasang alat bantu jantung, yang membutuhkan dana sekitar 80.000 Yuan (Rp 120 juta), disembunyikannya surat pemberitahuannya dan diam-diam pergi dari rumah sakit.

25 Mei lalu, ketika ia pulang dari memulung sambil memanggul karung goninya, seketika itu juga ia terjerembab di atas ranjang. Puluhan botol bekas air mineral di dalam karung goni itu pun berserakan di lantai.

Di pojok desa yang kosong dan tua itu, hanya menetap keluarga Yang saja. Lahan itu merupakan area industri yang akan direnovasi, awal Juni ini, semua penduduk harus meninggalkan lahan itu. Keluarga lain sudah pindah semua, hanya tersisa keluarga pak tua Yang yang tidak bisa ke mana-mana karena tidak punya tempat tinggal lain, bahkan rumah yang sudah reot itu pun bukan milik mereka, adalah milik seorang dermawan yang meminjamkannya pada mereka selama 10 tahun.

Hari itu menantu pemilik rumah, Yang Tianrong, tiba-tiba menerobos masuk ke rumah itu hendak meminta tolong pada pak tua Yang yang menguasai ilmu akupuntur, sambil berteriak, "Pak tua Yang, mertua saya kumat lagi, tolong..." Kata-katanya terhenti sampai di situ begitu melihat pak tua Yang terbaring tak berdaya di ranjang.

Pak tua Yang segera terduduk di ranjang, tanpa berkata sepatah pun, ia segera pergi ke rumah baru pemilik rumah yang berjarak 1 kilometer dari situ. Pulang dari rumah keluarga Huang, hari sudah malam. "Hanya penyakit lama, saya tusuk beberapa jarum sudah tidak ada masalah. Mereka memberi saya uang, saya tidak menerimanya."

Pak tua Yang berbaring kembali di ranjang sambil berkata pada istrinya, "Keluarga mereka telah banyak menolong kami, 10 tahun lamanya kami menempati rumah ini tanpa dipungut uang sewa, mana mungkin kami menerima uang dari mereka lagi. Saya takut tidak akan hidup lama lagi, begitu banyak dermawan yang telah membantu kami, tidak akan habis saya membalas budi baik mereka satu persatu...", kata pak tua Yang sambil memejamkan mata.

Di tengah kebisuan, air mata kedua orang tua menetes di atas mangkuk bubur nasi tak bergizi yang dimasak dengan sawi putih . Makanan seperti itu, mereka makan selama 2 bulan penuh.
Balas Budi Didikan Keluarga Yang

"Balas budi bukanlah beban." kata pak tua Yang, ada hal yang sudah seharusnya dilakukan, ada hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan.

Sayuran di kebun yang agak baik, tidak rela dimakan oleh pak tua Yang dan istrinya, lebih baik mereka jual untuk membiayai sekolah anak-anak, mereka hanya makan sisa sayuran yang diberikan orang lain kepada mereka.

"Meskipun kami ini miskin, namun harus miskin dengan memiliki akal budi, harus tahu balas budi." Begitulah pak tua Yang sering mendidik keempat anak-anaknya.

"Orang tua kami adalah orang tua yang paling mulia di atas dunia ini." Si sulung Yang Tianwei berkata, sewaktu masih kecil, ayah ibunya sering membawa keempat orang anak ke taman, duduk di sebuah bangku panjang, dan mengajarkan didikan itu pada mereka di alam terbuka, "Kalian harus ingat, jadilah orang yang berhati nurani, harus selalu mengingat kebaikan orang lain!"

"Teman-teman di asrama sangat baik pada saya, makanan apa saja yang enak, mereka selalu membaginya. Saya tidak mampu membalas kebaikan mereka, hanya dapat membantu mereka menimba air, memasak nasi," begitu kisah putra kedua, Yang Tianzheng, dengan demikian ia akan merasa lebih baik.

2006 lalu, putra sulung Yang Tianwei lulus dari perguruan tinggi dan bekerja di sebuah perusahaan di Guangdong. Baru saja beban keluarga itu agak longgar, tidak disangka perusahaan tersebut bangkrut dalam waktu 6 bulan, ia terpaksa harus kembali ke Chongqing, dan sampai sekarang masih belum mendapatkan pekerjaan tetap. Hanya bisa bertahan saja menghidupi dirinya sendiri. Sebagai putra sulung, ia merasa sangat bersalah karena tidak dapat membantu kedua orang tuanya dalam menopang keuangan keluarga.

Pak tua Yang tidak berani mengatakan tentang penyakitnya pada anak-anaknya, karena khawatir akan mempengaruhi pendidikan mereka. "Setiap harinya, mungkin saja adalah hari terakhir dalam hidup saya."

Namun pak tua Yang sama sekali tidak sempat memikirkan hal ini, ia hanya ingin di masa hidupnya membangun suatu keluarga bagi anak dan istrinya, melunasi semua hutangnya yang berjumlah 60.000 Yuan (Rp 90 juta), dan berusaha sekuat tenaga membalas budi baik para dermawan yang pernah membantu mereka. (Epochtimes.co.id/whs)

Kisah Si Dua Gayung


Ini adalah sebuah kisah nyata yang terjadi di Tiongkok kuno.

Di zaman dahulu kala, ada sebuah desa kecil yang indah dan sederhana di suatu pegunungan, namanya Desa Tian Hui.

Di sana ada satu keluarga yang sangat kaya, bermarga Yang. Keluarga Yang turun temurun adalah keluarga yang sangat baik hati, mereka sangat suka membantu orang lain.

Jika bertemu dengan Biksu ataupun Pendeta Tao, maka Tuan Yang pasti akan memberikan nasi dan lauk pauk yang banyak dengan mangkuk yang besar untuk dimakan oleh mereka.

Kadang kala, para tetangga juga pernah datang untuk meminjam bahan makanan pada Tuan Yang. Namun pada saat mereka hendak mengembalikan bahan makanan yang dulu dipinjam kepada Tuan Yang, beliau tidak menerimanya karena para tetangganya miskin.

Tetangga yang meminjam bahan makanan dari Tuan Yang, merasa telah sangat dibantu namun mana boleh bahan makanan yang telah dipinjam dari orang lain tidak dikembalikan? Mereka merasa harus mengembalikannya.

Oleh karena itu Tuan Yang akhirnya mengambil sebuah labu besar yang ada di rumahnya dan kemudian dibelah menjadi dua bagian (sehingga berbentuk seperti gayung, orang zaman Tiongkok kuno membuat gayung dari buah labu yang telah dikeringkan lalu dibelah dua, red), satu bagian besar, sedangkan belahan lainnya kecil.

Ketika tetangga datang untuk meminjam bahan makanan lagi, Tuan Yang menggunakan belahan gayung yang besar itu, setangkup demi setangkup besar gayung yang berisi bahan makanan itu dipinjamkannya kepada tetangga.

Lalu pada saat tetangga datang lagi untuk mengembalikan bahan makanan, Tuan Yang menggunakan belahan gayung yang kecil, hanya menerima kembali dalam jumlah sedikit. Lama kelamaan, para penduduk menyebutnya dengan nama Si Dua Gayung.

Pada saat Si Dua Gayung berusia 80 tahun di suatu musim gugur ketika itu, biji gandum di ladangnya telah siap dipanen, Si Dua Gayung hendak melihat-lihat ladang gandumnya.

Ia seorang diri dengan melangkah tertatih-tatih dibantu oleh tongkatnya datang ke ladang. Tiba-tiba, awan hitam yang pekat menggulung menyelimuti ladangnya, halilintar menyambar dan guntur menggelegar.

Si Dua Gayung yang melihat keadaan ini berpikir, "Saya sudah tua, tidak mampu melarikan diri lagi, biarlah saya mati di sini saja!"

Waktu itu, Si Dua Gayung mendengar sebuah suara yang luar biasa kerasnya di ladangnya, "Raja Guntur, Ratu Halilintar dan Naga Air, kalian dengarkan baik-baik, sekarang Si Dua Gayung sedang berada di ladang gandumnya, kalian sama sekali tidak boleh meneteskan air barang setitik pun di atas gandumnya!"

Setelah lewat lama sekali, hujan dan halilintar pun berhenti sudah, Si Dua Gayung bangun dari ladang gandumnya dan melihat sekeliling, di ladang gandum tempat ia terbaring tidak ada setetes air pun, sementara gandum milik orang lain semuanya telah roboh terendam air lumpur.

Si Dua Gayung pulang ke rumahnya dan menceritakan kejadian tersebut kepada anaknya, lalu membawa serta semua anak-cucunya untuk bersujud dan memberi hormat, berterima kasih pada Sang Maha Pencipta yang telah memberikan berkah padanya.

Lalu mengapa sambaran halilintar dan guntur yang menggelegar tidak melukai Tuan Yang? Karena dia seumur hidupnya telah banyak melakukan kebaikan kepada orang lain, dia telah memikirkan orang lain dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Di zaman Tiongkok kuno, semua orang memahami prinsip bahwa kebaikan dan kejahatan pasti ada balasannya, percaya bahwa setiap hal yang dilakukan oleh setiap orang, tidak peduli hal besar atau pun kecil, semuanya dilihat dengan jelas oleh Sang Maha Pencipta! Oleh karena itu, semua orang berusaha untuk berbuat baik, dan tidak melakukan kejahatan

Tangyuan, Bola Nasi dalam Sup


Makanan 'bola nasi di dalam sup' khas Tiongkok itu disebut 'tangyuan', 'tangtuan' atau 'yuanxiao' dalam ejaan pinyin Mandarin. Nama yang terakhir berhubungan dengan festival 'Lampion' (Yuanxiao) Tiongkok saat dimana ia dimakan. Hidangan yang terdiri dari bola-bola nasi yang lengket, diisi dengan suatu campuran bahan seperti buah-buahan yang diawetkan, lemak babi dan gula batu itu dinikmati oleh semua orang, karena rasanya yang manis dan lembut. Karena nasi itu mengandung kanji yang menyebabkan lengket dan rasa yang sempurna, orang tidak bisa memakannya dalam jumlah banyak.

Ada legenda tentang Ibu Suri Cixi memberikan tangyuan kepada rakyatnya.

Menurut Anekdot Keluarga Kerajaan Qing, Cixi suatu hari sedang mencicipi tangyuan ketika Kaisar Guangxu datang untuk menanyakan kesehatannya. Cixi bertanya kepada Guangxu, "Apa kamu sudah mencobanya?" Guangxu, yang sudah makan semangkuk tangyuan tapi takut mengaku karena ia seharusnya ditegur karena makan sebelum ibunya, berlutut dan menjawab: "putramu yang rendah belum mencobanya." Guangxu diberikan semangkuk dan disuruh memakannya segera.

Adalah suatu peraturan di Istana bahwa menolak makanan yang diberikan Ibu Suri dianggap tidak hormat, yang dapat berakibat fatal jika Cixi menjadi marah. Sadar akan hal ini, Guangxu tidak punya pilihan lain kecuali memakan tangyuan sambil tetap berlutut.

Cixi bertanya lagi, "Apa kamu sudah cukup?" Guangxu, tidak bisa menambah lagi, tapi begitu takut untuk menceritakan yang sebenarnya, menguatkan dirinya dan menjawab, "Belum."

"Mau lagi", tawar Cixi. Baru saja ia makan separuh dari mangkuk itu, Guangxu tidak tahan lagi. Ia menyembunyikan sisanya ke dalam lengan bajunya yang besar, yang mana tertangkap oleh mata tajam Cixi, namun demikian ia terus bertanya: "Kamu kepenuhan?". Guangxu, masih belum berani mengungkapkan pikirannya, menjawab sama seperti sebelumnya. Kali ini, Cixi berkata dengan senyum sinis: "Beri dia lagi", sambil membisikkan beberapa kata ke telinga seorang kasim.

Guangxu malang hanya bisa terpaksa tetap memakai taktik sebelumnya, hingga kedua lengan bajunya penuh terisi bola-bola tangyuan, dan pakaian dalamnya terbanjiri sup.

Segera ia kembali ke bilik istananya, ia memerintahkan kasim untuk mengambilkan beberapa pakaian ganti tapi tercengang mendengar pengakuan sang kasim: "Ibu Suri telah mengutus orangnya mengambil semua pakaian dalam Paduka". Guangxu, yang mengetahui Cixi telah mempermainkannya begitu takut meminta kembali pakaian dalam itu darinya, menelan penghinaan itu. Ia kemudian memerintahkan kasim yunior untuk mencarikannya di luar istana.

Secara kebetulan, Fulun, seorang keluarga kerajaan lainnya, punya pengalaman tangyuan yang sama dari Cixi. Akibat dari banyak jawaban atas pertanyaan Cixi, Fulun telah diberi banyak mangkuk bola-bola nasi itu, membiarkannya kembung karena kelebihan makan. Selama lebih dari 40 hari, ia terbaring di tempat tidur karena sakit serius sebelum akhirnya ia sembuh.

Asal-Usul Sumpit


Sumpit diciptakan bangsa Tiongkok dan sudah dikenal di Tiongkok sejak 3.000 hingga 5.000 tahun yang lalu. Sumpit telah digunakan jauh sebelum penggunaan sendok dan garpu di Eropa (pisau ditemukan terlebih dahulu, namun lebih sebagai senjata, baru kemudian dibentuk khusus sebagai alat makan). Penggunaan sumpit dikembangkan oleh Confusius (551-479 BC). Orang-orang Tionghoa yang waktu itu menganut Konghucu, menganggap penggunaan sendok dan garpu adalah semacam kekejaman, bagaikan senjata dingin.

Sumpit lebih mencerminkan keanggunan dan belas kasih, sebagai ajaran moral utama dari Konghucu. Di dalam masyarakat Tionghoa, makan bersama dianggap sebagai sarana mempererat tali persaudaraan dan kesempatan berkumpul dengan sanak keluarga dan teman-teman, sehingga penggunaan alat makan yang tajam harus dihindari. Oleh karenanya, alat yang dapat melukai orang tidak boleh ada diatas meja makan, itulah mengapa masakan Tiongkok (chinese food) biasanya sudah dipotong-potong ukuran kecil sebelum dimasak, agar tidak perlu lagi ada pisau dan garpu diatas meja makan.

Bagi orang Tionghoa yang terbiasa menggunakan sumpit sejak kecil untuk mengambil nasi dan lauk, tentu dapat menikmati makan menggunakan sumpit. Namun bagi orang barat yang tidak terbiasa, mereka akan kesulitan, terutama dalam menjumput nasi dari mangkok untuk dimasukkan kedalam mulut. Sebaiknya dalam menjamu mereka dengan Chinese Food yang memakai sumpit, beri mereka kesempatan untuk belajar menggunakan sumpit dengan memberikan contoh. Bila mereka tetap merasa tidak nyaman, pesankan juga sendok dan garpu.

Ada juga kepercayaan tradisional setempat mengenai sumpit. Bila kita menemukan sepasang sumpit yang ganjil (tidak sama tingginya) di meja makan, pertanda kita akan kehilangan harta. Menjatuhkan sumpit pertanda nasib buruk. Mencapkan sumpit tegak lurus diatas makanan yang akan dimakan tidak boleh, karena itu adalah penyajian makanan untuk orang mati (biasanya saat sembahyang Ceng Beng). Di restoran dimsum, bila selesai makan, sumpit boleh diletakkan bersilang di mangkok sebagai pertanda bagi pelayan bahwa Anda sudah selesai makan dan minta bon diantar.

Pria Sejati Adalah yang Ketat Mematut Diri dan Toleran pada Orang Lain


Di dalam budaya Tiongkok kuno, ketat mematut diri dan toleran pada orang lain merupakan salah satu prinsip seorang pria yang sejati, digunakan untuk mendisiplinkan diri sendiri dan memperlakukan orang lain di masyarakat. Ini merupakan manifestasi kebaikan dari seorang pria sejati. Ketat mematut diri adalah karakter yang mulia, mencakup perilaku yang benar dan peningkatan diri. Toleran pada orang lain berarti memiliki hati yang belas kasih dan pemaaf. Semua ini memiliki beberapa komponen:,di antaranya adalah sebagai berikut:
Introspeksi

Ini berarti pikiran, kata dan tindakan seseorang harus sesuai dengan standar moral. Confucius pernah berkata, "seorang pria sejati selalu melakukan introspeksi ke dalam dirinya sementara pria pecundang selalu menuntut orang lain." Salah satu perbedaan penting antara pria sejati dan pria pecundang adalah apakah ia dapat mengintrospeksi dirinya sendiri ketika masalah timbul. Meng Zi berkata, "Jika Anda peduli pada orang lain tetapi tidak mendapat dukungan, coba tanyakan pada diri Anda sendiri apakah perasaan belas kasih Anda sudah cukup. Jika Anda membujuk orang lain tetapi tidak berhasil, coba tanyakan pada diri Anda sendiri apakah Anda sudah cukup bijaksana. Jika Anda sopan kepada orang lain, tetapi orang lain tidak memperlakukan Anda dengan cara yang sama, cobalah tanyakan pada diri Anda sendiri apakah Anda sudah cukup tulus. Ketika keadaan tidak seperti yang Anda harapkan, cobalah mencari tahu dalam diri sendiri penyebabnya, daripada menyalahkan orang lain”. Zeng Shen berkata,"Saya introspeksi diri beberapa kali setiap harinya. Apakah saya telah melakukan yang terbaik untuk membantu orang lain? Sudahkah saya jujur pada semua orang ? Sudahkah saya mempelajari kembali bahan-bahan yang telah diberikan oleh guru? Melalui introspeksi, seseorang akan lebih rasional dan benar-benar dapat mengendalikan dirinya sendiri. Seorang pria sejati sebaiknya secara rutin selalu introspesi dan memperbaiki diri.agar dapat membentuk karakter yang mulia”.
Ketat Mematut Diri

Ini berarti mengekang dan menegakkan kemampuan seseorang Confucius berkata, "Mengekang diri sendiri dan menegakkan kembali standar etika untuk mencapai kebajikan". Hanya dengan mengekang keinginan diri sendiri dan ucapan-ucapan yang tidak patut serta perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh, serta dengan sukarela mematuhi standar moral, barulah seseorang dapat menjadi bajik. Seseorang seharusnya “tidak melihat segala sesuatu, mendengarkan, mengucapkan dan melakukan segala sesuatu yang tidak selaras dengan standar etika". Confucius mengatakan bahwa dengan mematuhi standar moral dan mengekang diri, semua orang dapat menjadi pria sejati, dan masyarakat akan berubah menjadi baik. Meng Zi berkata, "Saya selalu membentuk karakter yang mulia."Zeng Shen berkata,"seorang pria yang sejati tidak akan lupa tujuannya." Semua ini menunjukkan betapa besar tanggung jawab yang dipunyai oleh seorang pria sejati. Seseorang seharusnya menunjukkan keyakinannya dengan sifat yang mulia. Dengan menegakkan kebajikan dan kebenaran, seseorang tidak akan diganggu dan dipengaruhi oleh campur tangan pihak luar di lingkungan sekitarnya.
Berhati-hati Ketika Sedang Sendirian

Ini berarti seseorang harus ketat mematut dirinya bahkan ketika dia sendirian. Dengan cara ini, seseorang akan teguh pada keyakinannya dan mencegah pikiran-pikiran yang salah dan egois. Di Zhong Yong, ditulis, "Tanda seorang pria sejati adalah ketika dia sendirian ." Dikatakan,"Ada beberapa pikiran halus dan tersembunyi yang pernah muncul tetapi belum diwujudkan. Seseorang dapat menyadari dirinya sendiri walaupun orang lain belum menunjukkan. Seseorang seharusnya menjauhkan diri dari keinginan pribadinya.bahkan sejak pada tahap awal untuk mencegahnya menjadi kuat.Berhati-hati ketika berbicara dan bertindak, dengan begitu seseorang dapat menemukan standar moral.”Selalu waspada ketika seseorang sendirian berarti memiliki konsistensi antara pikiran dan tindakan.
Memaafkan

Pada masalah hubungan manusia dalam masyarakat, Confucius menekankan kedermawanan dan memaafkan. Ia berkata, "Seseorang seharusnya bertindak lebih banyak dan meminta lebih sedikit dari orang lain”. "Jangan melakukan sesuatu yang dia sendiri tidak suka kepada orang lain." Xi Zhu berkata, "Tindakan yang terbaik dari seseorang adalah kesetiaan, dan memikirkan orang lain seolah-olah dia adalah dirinya sendiri”. Semua itu adalah untuk mengatakan, mempertimbangkan dan menempatkan diri sendiri di dalam sepatu orang lain. Seoang pria sejati harus ketat mematut diri, bermurah hati dan bisa memaafkan orang lain, harus bisa dipercaya baik kata dan perbuatannya. Confucius pernah berkata, "Ketika Anda mengatakan sesuatu, pastikan untuk menjaga kata-kata itu, Ketika Anda melakukan sesuatu, pastikan semua telah dilakukan dengan baik”. Confucius juga berkata," Seorang pria sejati adalah yang berhati-hati dengan ucapannya, dan memperhatikan jangan sampai mendapat malu ketika perbuatannya tidak sama dengan apa yang telah diucapkan. "Ketika seorang pria sejati melihat seseorang lebih baik daripada dirinya, ia akan belajar dari orang tersebut. Ketika seorang pria sejati melihat seseorang yang tidak baik, ia akan memeriksa diri sendiri untuk mengetahui apakah ia mempunyai permasalahan yang sama dengan orang tersebut”.

Tujuan dari pelajaran tentang pria sejati dan meningkatkannya adalah untuk menyadari kebenaran dan memperoleh Tao, seperti yang dikatakan oleh Confucius. Dalam Da Xue, ini disimpulkan sebagai "mengkultivasi diri, menyelaraskan keluarga, mengatur sebuah bangsa, dan membawa perdamaian kepada dunia." Seorang pria sejati seharusnya memurnikan pikiran dan tubuhnya, untuk memperoleh Tao. Hanya dengan memiliki kebajikan yang tinggi seseorang dapat membuka pikiran dan hatinya serta dapat memenuhi tanggung jawab sosialnya untuk menjaga kebenaran